PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
RISIKO,
bagi sebagian orang merupakan satu kata yang menakutkan. Respon pertama
terhadap risiko adalah HINDARI. Tidak ada yang salah terhadap respon tersebut
karena secara naluri manusia cenderung menginginkan hasil yang baik dan
menghindari akibat yang buruk.
Masalahnya
adalah manusia dalam mempertahankan eksistensi kehidupannya harus melakukan
aktivitas. Tanpa aktivitas, tidak mungkin diperoleh hasil yang baik.
Sebaliknya, pada setiap aktivitas terkandung risiko terjadinya akibat yang
buruk. Sebagai contoh, untuk memperoleh kehidupan yang baik seseorang harus
bekerja. Aktivitas bekerja memberikan keuntungan finansial, karir, prestise
pada gilirannya membutuhkan sesuatu yang dikorbankan, seperti hilangnya waktu
untuk bersenang-senang, gangguan kesehatan, hingga kemungkinan hilangnya
pekerjaan. Pengorbananan yang mungkin diderita itulah yang disebut sebagai
risiko. Dalam hal ini risiko merupakan konsekuensi dari aktivitas yang
dilakukan.
Risiko
diawali dengan adanya ketidaksempurnaan informasi atas berbagai aspek dalam
proses pengambilan keputusan dan hasilnya. Sehingga, dikatakan bahwa “risk
comes from not knowing what you are doing” ketidak sempurnaan informasi akan
mendatangkan ketidak pastian. Bahkan, ketidak pastian itu sendiri melekat pada
hidup dan kehidupan kita didunia. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi besok
bukan hanya masalah untung atau rugi didunia, bahkan kepastian apakah akan
masuk surga sebagai puncak keberuntungan manusia atau masuk neraka sebagai
puncak kerugian pun juga tidak ada yang tahu. Tidak ada jaminan bahwa usaha
atau ikhtiyar pasti selalu mendatangkan keuntungan. Pasti ada setelah terjadi.
Ketika belum terjadi, yang ada adalah ketidakpastian. Dengan pemahaman ini,
maka benarlah bahwa “risiko adalah takdir Allah”, hanya Allah semata yang
mengetahui apa yang akan terjadi besok. “setiap manusia harus menyadari bahwa
risiko dan ketidakpastian yang menyebabkan terjadinya risiko adalah bagian dari
rahasia Allah Ta’ala.
Manusia
diberikan kelapangan seluas-luasnya untuk melakukan transaksi muamalah selama
tidak ada dalil yang melarang nya. inilah indahnya islam. Manusia diberikan
koridor dalam melakukan transaksi muamalah. Kebebasan yang ada bukanlah
kebebasan yang mutlak, seperti pada sistem ekonomi kapitalis. Sebaliknya,
koridor batasan yang ditetapkan oleh syariat tidak menghilangkan kebebasan
manusia dalam bermuamalah, seperti pada sistem ekonomi sosialis.
Batasan-batasan yang diberikan islam
adalah dalam rangka menghilangkan dan mencegah kemudharatan. Segala unsur yang berpotensi menciptakan
kemudaratan dan kedhaliman pasti dilarang dalam islam. apalagi jika nyata-nyata menimbulkanya, seperti
larangan adanya riba, gharar, (ketidakjelasan), maysir(judi), tadlis(penipuan),
batil, dan pemaksaan.
Penjelasan
tentang risiko, gharar dan maysir diharapkan akan memberikan pencerahan dalam
bersikap untuk menghadapi resiko. Oleh karena itu
kami membuat makalah ini dengan judul “risiko, gharar dan
maysir” agar mampu meberikan manfaat bagi pembaca.
B. Rumusan
Masalah
Dikarenakan keterbatasan waktu dan kemampuan kami dalam menyusun makalah ini,
maka kami membatasi rumusan masalah dalam materi ini sebagai berikut :
1.
Apa yang
dimaksuddenganRISIKO?
2.
Apa yang
dimaksuddengan GHARAR?
3.
Apa yang
dimaksuddengan MAYSIR?
C. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini meliputi :
1.
Mengetahui definisi singkat risiko, gharar, maysir
2.
Dapat membedakan antara risiko, gharar, maysir
3.
Mengetahui manfaat mempelajari risiko, gharar, maysir
PEMBAHASAN
1.
Risiko.
Pengertian Resiko.
Risiko
merupakan bahaya: resiko adalah ancaman atau perlindungan suatu tindakan atau
kejadian yang menimbulkan dampak yang berlawanan dengan tujuan yang ingin
dicapai. Resiko juga merupakan peluang: resiko adalah sisi yang berlawanan dari
peluang untuk mencapai tujuan.
Kata
kuncinya adalah “tujuan” dan “dampak/sisi yang berlawanan” Penjelasannya adalah
sebagai berikut: guna mempertahankan eksistensi kehidupan, maka diperlukan
suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan, diperlukan tindakan atau aktivitas.
Aktivitas memiliki resiko jika dampaknya berlawanan. Sebaliknya, aktivitas
memberikan peluang untuk memperoleh hasil yang diinginkan.[1]
Menurut
PBI No. 13/25/PBI/2011 tentang penerapan manajemen resiko bagi BUS dan UUS.
Resiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya peristiwa tertentu. Sementara
itu, resiko kerugian adalah kerugian yang terjadi sebagai konsekuensi langsung
atau tidak langsung dari kejadian resiko. Kerugian itu bisa berbentuk finansial
dan nonfinansial.[2]
Pembahasan
selanjutnya adalah keterkaitan antara risiko dengan organisasi.Setiap
organisasi pasti memiliki tujuan berupa visi dan misi yang ingin dicapai. Tujuan
tersebut berpeluang untuk dicapai, tetapi derdapat juga risiko untuk tidak
tercapai.Pembahasan risiko tidak terlepas dari pembahasan tentang tingkat
kemungkinan risiko terjadi (frequency of risk events) dan tingkat dampak
kerugian dari resiko yang terjadi (impct/severity of risk losses).
Risiko dihubungkan dengan
kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tak diinginkan, atau tidak
terduga. Dengan kata lain “kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya
ketidakpastian. Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya
risiko. Dan jika kita kaji lebih lanjut “kondisi yang tidak pasti” itu timbul
karena berbagai sebab, antara lain:
-
Jarak waktu dimulai perencanaan atas
kegiatan sampai kegiatan itu berakhir. Makin panjang jarak waktu makin besar
ketidakpastiannya.
-
Keterbatasan tersedianya informasi yang
diperlukan.
-
Keterbatasan pengetahuan/ keterampilan/
teknik mengambil keputusan.
-
Dan sebagainya.[3]
Jenis-jenis Risiko.
Pengelompokan
risiko menjadi sangat penting, karena setiap kegiatan usaha baik perseorangan
sebagai suatu badan akan selalu berhadapan dengan risiko tersebut. Secara umum
risiko dapat dikelompokkan menjadi risiko spekulatif (speculative risk) dan
risiko murni (pure risk).
Risiko spekulatif adalah risiko yang
mengandung dua kemungkinan, yaitu kemungkinan yang menguntungkan utau
kemingkinan yang merugikan. Risiko ini biasanya berkaitan dengan risiko usaha
atau bisnis. Contoh: perjudian, pembelian saham, pembelian valuta asing, saving
dalam bentuk emas, perubahan tingkat suku bunga perbankan. Risiko murni adalah
risiko yang hanya mengendung satu kemungkinan, yaitu kemungkinan rugi saja.
Contoh: bencana alam seperti babjir, gempa, gunung meletus, tsunami, tanah
longsor, topan, kebakaran, resesi ekonomi dan sebagainya.
Risiko dapat diklasifikasikan
berdasarkan penyebab terjadinya atau dampak yang ditimbulkannya. Berdasarkan
penyebab terjadinya, risiko dibagi menjadi dua, yakni risiko nonbisnis dan
risiko bisnis. Risiko nonbisnis muncul dari berbagai faktor yang yang tidak
terkait dengan bisnis yang dijalankan, namun dampaknya akan mempengaruhi
bisnis, seperti kebakaran, banjir, dll. Risiko jenis ini termasuk risiko jenis
murni. Sedangkan risiko bisnis muncul karena proses bisnis yang dilakukan,
seperti kesalahan saat membuat perencanaan, kurangnya informasi saat
pengambilan keputusan atau kurang optimalnya pengelolaan.
Sementara itu, berdasarkan
dampaknya, risiko dibagi menjadi dua. Pertama, risiko yang dampaknya hanya
ditanggung oleh proyek atau bank atau instansi tertentu, terisolasi dan tidak
merembet pada proyek atau institusi lain. Risiko ini disebut dengan risiko
unik, risiko nonsistematis (unsystematic risk). Risiko ini terjadi akibat
faktor yang ada dan terjadi pada bank atau institusi atau proyek tertentu, dan
tidak ada selainnya. Kedua, risiko yang dampaknya menyebabkan terjadinya efek
domino, yakni menyeret proyek atau proses atau institusi atau sektor atau bahkan
negara lain untuk terkena dampak risiko tersebut, atau berdampak pada
keseluruhan pasar atau sistem yang ada. Risiko ini muncul sebagai akibat adanya
faktoe risiko bersama di pasar dan terjadinya hubungan interdependensi
antar-unit atau institusi atau sektor ekonomi. Faktor risiko ini umumnya
terkait dengan variabel makro-ekonomi atau kondisi sektoral atau geografis atau
indikator pasar lainnya. Risiko ini disebut risiko pasar karena risiko ini
berdampak pada semua institusi atau proyek yang ada dalam cakupan pasar atau
sektor atau geografis tertentu, risiko ini tidak mungkin dapat dihilangkan
dengan pendekatan diversifikasi portofolio investasi, kecuali jika keluar dari
cakupan tersebut. Karenanya, risiko pasar ini disebut dengan risiko yang tidak
diversifikasi (undiversifikasi risk), risiko sistematis (systemic risk).[4]
Faktor-faktor Risiko.
Risiko adalah suatu kemungkinan
terjadinya peristiwa yang menyimpang dari apa yang diharapkan. Tetapi,
penyimpangan ini baru akan nampak bilamana sudah berbentuk suatu kerugian. Jika
tidak ada kemungkinan kerugian, maka hal ini tidak ada risiko. Jadi faktor yang
menyebabkan terjadinya suatu kerugian adalah penting dalam analisis risiko.
Terdapat dua faktor yang bekerja
sama menimbulkan kerugian adalah becana (perils) dan bahaya (hazards). Bencana
adalah penyebab penyimbangan peristiwa sesungguhnya dari yang diharapkan.
Bencana ini merupakan penyebab langsung terjadinya kerugian. Kehadirannya
menimbulkan risiko yang menyebabkan teejadinya kemungkinan penyimpangan yang
tidak diharapkan. Lingkungan kita selalu dihadapkan dengan bencana-bencana,
seperti: banjir, tanah longsor, gempa, gelombag laut yang tinggi, gunung
meletus, kebakaran, pencurian, perampokan, lematian dan masih banyak yang
lainnya.
Bahaya adalah keadaan yanng melatar
belakangi terjadinya kerugian oleh bencana tertentu. Bahaya meningkatkan risiko
kemungkinan terjadinya kerugian. Keadaan-keadaan tertentu disebut bahaya,
misalnya: mengendarai mobil di jalan raya terlalu kencang, mendirikan bangunan
yang tinggi tanpa dilengkapi dengan alat pengaman, kondisi hujan badai dan
sambaran petir.
Bahaya
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: bahaya fisik (physical hazard),
adalah aspek fisik dari harta yang terbuak dari risiko. Misalnya, lokasi sebuah
gedunng mempengaruhi kepekaannya terhadap kerugian, karena terbakar atau
terkena gempa. Bahaya moral (moral hazard) juga mempengaruhi kemungkinan
kerugian, contoh: ketidakjujuran adalah bahaya moral yang dapat meningkatkan
kemungkinan risiko. Bahaya morale (morale hazard) adalah bahaya yang
ditimbulkan oleh sikap ketidak hati-hatian dan kurangnya perhatian sehingga
meningkatkan terjadinya kerugian, seperti membuang putung rokok sembarangan
sehingga dapat menimbulkan kebakaran. Bahaya karena hukum atau peraturan (legal
hazard), yaitu suatu bahaya yang timbul karena mengabaikan undang-undang atau
peraturan yang telah ditatapkan.
Sumber-sumber Risiko.
Risiko sosial, yang sumber utamanya
adalah masyarakat. Artinya, tindakan orang-orang mencipkatan kejadian yang menyebabkan
penyimpangan kerugian. Misalnya: pencurian, vandalisme, huru-hara, peperangan,
dan sebagainya.
Risiko fisik, yang sumber utamanya
sebagian merupakan fenomena alam dan sebagian karena tingkah laku manusia.
Kebakaran adalah penyebab utama cidera fisik, kematian maupun keruakan harta.
Kebakaran dapat disebabkan leh petir, konsluiting kabel, gesekan benda maupun
kecerobohan manusia.
Risiko ekonomi, misalnya: inflasi,
resesi, fluktuasi harga dan lain-lain. Selama periode inflasi daya beli uang
merosot. Para pensiunan dan mereka yang berpenghasilan tetap, tidak mungkin
lagi dapat mempertahankan tingkat hidup sebagaimana biasanya. Bahkan pada
periode ekonomi yang relatif stabil, daerah-daerah tertentu mungkin mengalami
boom arau resesi. Keadaan ini menempatkan orang-orang dan pengusaha pada risiko
yang sama dengan risiko pada fluktuasi umum kegiatan ekonomi.[5]
Risiko sebagai fitrah bisnis.
Islam
merupakan agama fitrah yang komplit dan menyeluruh. Oleh karena itu, tidak ada
satupun urusan fitrah manusia yang luput dari perhatian agama islam. Tidak ada
sesuatu pun, dalam urusan dunia maupun akhirat, kecuali Islam telah menjelaskan
perkaranya. Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna mengatur segala aspek
kehidupan manusia. Syariatnya mengatur hubungan manusia dengan Allah Ta’ala,
hubungan manusia dengan pribadinya sendiri, keluarganya, dan sesama manusia
dalam bentuk muamalah (sosial) demi kemasylahatan hidup mereka.
Kegiatan bisnis merupakan salah satu
fitrah dari manusia karena dengan berniaga menusia dapat memenuhi berbagai
kebutuhannya. Dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam bisnis adalah
keuntungan dan kerugian, dengan demikian risiko itu sendiri merupakan fitrah
yang senantiasa melekat dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, Islam tidak
mengenal adanya transaksi bisnis yang bebas risiko.
Para ulama telah bersepakat bahwa
terdapat dua kaidah penting yang harus diperhatikan dalam menjalani bisnis dan
setiap transaksi usaha, yaitu kaidah al-kharaj bidh dhaman (pendapatan adalah
imbalan atas tanggungan yang diambil) dan al-ghunmu bil ghurmi (keuntungan
adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian). Maksud dari kedua kaidah
tersebut adalah orang yang berhak mendapatkan keuntungan adalah orang yang
punya kewajiban menanggung kerugian (jika hal itu terjadi). Keuntungan
merupakan kompensasi yang pantas atas kesediaan seseorang menanggung seluruh
risiko terkait barang dagangannya (kerusakan barang sebelum terjual, kehilangan
barang dagang, tidak laku, dan lain sebagainya).
Pendekatan dalam mengakui risiko.
Sebagian
respon atas suatu risiko adalah fobia dan semaksimal mungkin menghindari
berbagai faktor pemicu risiko tersebut. Sebagian merasa tidak mungkin aman dari
risiko. Mereka hidup bersama risiko. Maksimal yang mereka bisa lakukan adalah memitigasi
keterjadian dan dampak yang ditimbulkannya. Berbagai pendekatan dilakukan mulai
dari pencegahan, mitigasi dampak, mentransfer risiko, membagi risiko dan
menerima risiko.
Mencegah
dan meminimalkan risiko dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem pengendalian
internal, mengubah proses bisnis, atau mengganti elemen yang berbahaya
(termasuk melakukan rotasi pegawai). Berikut adalah manfaat jika mapu mengelola
risiko dengan andal dan profesional:
·
Dapat terhindar dari berbagai kerugian
yang tidak diperlukan, menghemat biaya, terjaminnya kestabilan laba yaang
diharapkan, dan terhindarnya dari kegagalan bisnis dan kebangkrutan usaha.
·
Keberlangsungan bisnis lebih terjamin,
terciptanya pertumbuhan yang berkelanjutan, penggunaan terbaik (best use) atas
sumber daya, dan memungkinkan fokus pada pemberian layanan yang terbaik dan
inovasi.
·
Proses bisnis berjalan sesuai rencana, jika
terjadi penyimpangan dan gangguan operasi, dapat segera mengantisipasi dan
memberikan solusi tepat waktu dan tepat guna.
·
Terbangunnya reputasi positif di mata
masyarakat.[6]
2.
Gharar.
Pengertian Gharar.
Secara
bahasa gharar barmakna “khatar”, yakni mengandung bahaya, atau bisa juga
bermakna “ khida”, yakni menipu. Secara terminologi, definisi gharar merujuk
pada ketidakpastian yang dapat menyakibatkan seseorang berada dalam bahaya.
Maksud ketidak pastian dalam transaksi muamalah ialah “terdapat sesuatu yang
ingin disembunyikan oleh sebelah pihak dan hanya boleh menimbulkan rasa ketidak
adilan serta penganiayaan kepada pihak lain. Menurut Ibn Rush maksut al-gharar
ialah “kurangnya maklumat tentang keadaan barang (objek), wujud keraguan pada
kewujudan barang, kuantiti, dan maklumat yang lengkap terhubungnya dengan
harga. Ibnu tamiyah menyatakan al-gharar itu ialah apabila satu pihak mengambil
haknya dan satu pihak lagi tidak menerima apa yang sepatutnya dia dapatkan.
Al-gharar ditaqrifkan dalam kitab
Qalyubi wa Umairah menyatakan madhab Imam Al-Shaffi mendefinisikan Gharar
sebagai, “suatu (aqad) yang akibatnya tersembunyi daripada kita atau perkara
diantara dua kemungkinan dimana yang paling kerab berlaku ialah yang paling
ditakuti”. Syaiful Azhar Rosly menyatakan, “Gharar yang dimaksut resiko dan
ketidak pastian yang puncak dari perbuatan manipulasi manusia mengakibatkan
kemudharatan keatas pihak yang di dzalimi. Umpamanya dalam jual beli mobil
bekas, pembeli tidak dibertau tentang keadaan sebenarnya kendaraan tersebut.
Setelah selesai perjanjian jual beli,
Gharar dalam objek jual beli itu boleh dijadikan alasan membatalkan kontrak.
Ini karena Gharar itu berasal dari perbuatan dzalim yang disengaja.
Gharar secara sederhana dapat
diartikan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak mempunyai informasi
memadai tentang berbagai elemen subjek dan objek akad. Gharar adalah semua jual
beli yang mengandung ketidak jelasan atau keraguan tentang adanya komoditas
yang menjadi objek akad, Ketidak jelasan akibat dan bahaya yang mengancam
antara untung dan rugi ( pertaruhan / perjudian).
Dalam al-Quran tidak ada nash secara khusus yang mengatakan tentang hukum
gharar akan tetapi secara umum dapat dimasukan dalam surat al-Baqarah yang
artinya;
Dan janganlah sebagian
kamu memakan harta sebagian dari yang lain diantara kamu dengan yang batil.
(Q.S. Al-Baqarah: 188)
Mengenai dilarangnya jual beli gharar oleh Rasulullah didapati hadis yang
berhubungan dengan hal tersebut yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat antara
lain;
Dari Abi Hurairah
berkata: Rasullulah telah melarang jual beli hasah dan jual beligharar.[7]
Konsepsi gharar.
Konsep
dasar yang berkaitan dengan konsep gharar antara lain: (1) Game, Sebuah
pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam
terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qash al-ribh (transaksi
dengan keuntungan). (2) Zero sum game (permainan dengan hasil bersih nol)
Konsep
permainan yang hanya menghasilkan output win- lose (menang-kalah). Kemenangan
yang diperoleh satu pihak atau secara
terbalikkkerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan
naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Menurut Friedman (1990 h.20-21 ) bahwa
zero sum-game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil
yang mengakomodasi kedua belah pihak
pihak yang tidak ada kerja sama. Disinilah terletak adanya unsur
Gharar sifat dari kontrak berjangka yang
zero sum-game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi) juga
mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika
transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile)
pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergeraannya (khususnya pada kontrak
berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian bahkan bisa tidak terbatas
jumlahnya membuat kntrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance
(perjudian) yang jelas mendorong perilaku spekulatif. Disampig itu terlihat
juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidak seimbangan
antara hak dan kewajiban setiap pihak.[8]
Pembagian Gharar.
Gharar
dalam sighat akad (bentuk transaksi), yaitu Gharar dalam sighat akad (bentuk
transaksi) mempunyai arti bahwa akad atau transaksi yang terselanggara
didalamnya terdapat gharar. Atau dalam artian gharar tersebut berhubungan langsung
dengan akad tidak pada benda yang diakadkan. Adapun macam-macam gharar dalam
sighat akad atau gharar yang terdapat dalam bentuk transaksi antara lain
meliput : Dua jual beli dalam satu jual beli, Jual beli Urban, Jual beli
Munabazah, Jual beli Hasah, Jual beli Mulamasah, Aqad yang digantungkan dan
akad yang disandarkan.
Gharar
dalam benda yang berlaku padanya akad/benda yang ditransasikan. Gharar didalam
barang yang dijual atau mahalul aqdi termasuk juga harga maka dapatlah
dikembalikan jika: Ketidakjelasan Pada Zat Yang Ditransaksikan, Ketidakjelasan
Pada Jenis Benda Yang Ditransaksikan, Ketidakjelasan pada macam barang yang ditransaksikan,
Ketidakjelasan pada sifat benda yang ditransaksikan, Ketidakjelasan pada kadar
benda yang ditransaksikan, Ketidakjelasan pada tempo penentuan harga, Tidak
adanya kemampuan menyerahkan benda yang ditransaksikan, Transaksi pada benda
yang tidak ada, tidak bisa melihat benda yang ditransaksikan.[9]
Ditinjau dari hukum
keharaman dan kehalalanya, Macam-macam gharar dalam jual beli terbagi menjadi
tiga: (1) Bila kuantitas banyak, hukumnya dilarang berdasarkan ijma’. Seperti menjual
ikan masih dalam air dan burung yang masih diudara. (2) Bila jumlahnya sedikit,
hukumnya dibolehkan menurut ijma’ seperti pondasi rumah (dalam transaksi jual
beli rumah) isi bagian dalam pakaian dan sejenisnya. (3) Bila kuantitasnya
sedang-sedang saja, hukumnya masih diperrdebatkan. Namun parameter untuk
mengetahui banyak sedikit kuantitas, dikembalikan kepada kebiasaan.[10]
Gharar dan Tadlis.
Gharar biasanya merujuk pada
muamalah antar manusia, misalnya dalam berinteraksi jual beli (bai’), utang-piutang
(qard), sewa-menyewa (ijarah) wakalah dan syirkah. Ketidaksempurnaan informasi
ini bisa muncul secara alami dan tidak ada unsur kesengajaan dari pihak yang
bertransaksi. Inilah definisi gharar. Jika terdapat unsur kesengajaan dari
salah satu pihak untuk memanipulasi informasi atau menyembunyikannya maka ini
disebut dengan tadlis (penipuan) islam melarang adanya gharar dan tadlis dalam
ransaksi. Gharar dan tadlis pasti berujung pada kezaliman dan ketidakadilan.
Islam datang untuk memerangi keduanya. Jika ada transaksi yang mengamdung unsur
gharar atau tadlis, maka transaksi tresebut akan menjadi rusak atau batal.
Terkait dengan unsur kesengajaan
ini, sebagian orang membagi risiko menjadi dua , yakni risiko alamiah (natural
risk) dan risiko sintetis (synthetic risk). Dalam konteks di atas, risiko
alamiah merujuk pada gharar yang tetap melekat pada kontrak, meskipun telah
berusaha dihilangkan, dan kalaupun dihilangkan dapat mendatangkan kenudaratan
tebih besar dibandingkan membiarkan gharar tersebut tetap ada. Lazimnya, ini
unttuk gharar yang bersifat ringan dan dapat diabaikan. Namun, bila gharar
tersebut bersifat berat dan dapat dihilangkan dalam konrrak, namun sengaja
dibiarkan, maka ini termasuk dalam risiko sintetis.[11]
PerbedaanGharardenganGhurm/Risiko
Gharar (ketidakjelasan) danGhurm
(risiko) adalahduaelemen yang berbeda. Gharar adalah elemen yang
diharamkan dalam jual beli sementara ghurm adalah salah satu justifikasi
kenapa keuntungan dalam jual beli itu sesuatu
yang baik. Dalam kaedah fiqh dikenali stilah (Al-ghunmu bil ghurmi) setiap keuntungan mesti
diikuti sebuah risiko.
Penjelasan lanjutan tentang Ghurm
dilengkapkan dengan firman Allah SWT :[12]

Bermaksud, "Untuk kebiasaan kaum Quraisy, Yaitu kebiasaan
mereka dengan perjalanan pada musim dingin dan musim panas, hendaklah mereka menyembah
Tuhan Rumah ini, yang menyediakan mereka makanan untuk melawan kelaparan,
dan dengan keamanan terhadap takut bahaya"
Pada zaman itu, ada dua jenis kontrak komersial yang dapat diamalkan
di dalam perdagangan yang dilakukan kabilah Quraisy, yaitu mudarabahdan al-bay’.
Pada kontrak yang pertama,
orang-orang Mekah selalu menunggu
kedatangan kabilah dengan harapan penuh pada keuntungan dalam perdagangan
melalui mudarabah al-Qirad.
Perdagangan yang dilakukan kabilah tersebut tidaklah mudah dan selalu
mengalami kerugian. Barang dagangan kadang-kadang
hancur sebelum sampai kepasaran. Ribut pasir, penyakit dan rompakan di jalan serta masalah-masalah yang timbul menjejaskan lagi perjalanan kabilah
tersebut dan mengangu kelancaran perniagaan mereka. Hal-hal tersebut adalah risiko perdagangan yang
tidak mampu dihindari. Risiko seperti inilah yang disebut
Al-ghurm. Sedangkan gharar muncul jika terdapat ketidakjelasan dalam jenis
barang yang diperdagangkan, atau ketidakjelasan harga
suatu barang atau servis.
keterangan
|
Risiko
|
gharar
|
Pandanganislam
|
Diperbolehkandengankaedahfiqh Al ghurmubilghunm
|
DilarangberdasarkanHadisdandalil-dalisyari’i
|
contoh
|
Risikodidalamusahaperniagaan
|
Tidakadanyapenetapan
hargadanspesifikasidalam
kontrakjualbeli
|
Kesan
|
Menumbuhkansemangat
wirausahadansikap
yang
produktif
|
Menimbulkanperselisihan
|
3.
MAYSIR.
Konsep maysir.
Halyang
dilarang dalam islam selain gharar adalah maysir. Maysir atau qimar secara
harfiah bermakna judi (spekulasi). Secara teknis adalah setiap permainan yang
di dalamnya di syaratkan adanya sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak
yangkalah untuk pihak yang menang. Definisi judi (maysir atau qimar) menurut
Ibrahim Anis dkk. Dalam al-mu’jam
al-wasith hal. 758, judi adalah setiap permainan yang di dalamnya
disyaratkan adanya sesuatu (berupa materi) yang di ambil dari pihak yang kalah
kepada pihak yang menang. Menurut Muhamad Ali biAsh-Sabuni dalam kitab
tafsirnya rawa’i Al-Bayan fi Tafsir Ayat Al-Ahkam ( 1/279), judi adalah setiap
permainan yang menimbulkan keutungan (ribh) bagi satu pihak dan kerugian (khasarah)
bagi pihak lainnya.
Beberapa
definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi, sehingga dapat disimpulkan
sebuah definisi judi yang menyeluruh, yaitu judi merupakan segala permainan
yang mengandung unsur taruhan (harta atau materi) dimana pihak-pihak yang
menang mengambil harta atau materi dari pihak yang kalah. Untuk bisa
dikatagorikan sebagai judi harus ada tiga unsur yang harus dipenuhi :
1. Adanya
taruhan harta atau materi yang berasal dari kedua belah pihak yang berjudi.
2. Adanya
suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah.
3. Pihak
yang menang mengambil harta ( sebagian atau seluruhnya) yang menjadi taruhan,
sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya.
Judi
ini bisa dilakukan dengan bandar (penyelenggara) atau tanpa bandar. Baik
penyelenggara pihak swasta ( misalnya bandar judi kapal pesiar untuk judi ),
maupun pemerintah (misalnya Departemen Sosial). Sama saja apakah dana yang
terkumpul untuk tujuan pembangunan, olahraga, sosial, atau yang lainya
Istilah
lain dari judi adalah spekulasi, hal ini
bisa terjadi dalam bursa saham. Setiap menitnya selalu saja terjadi transaksi
spekulasi yang sangat merugikan si penerbit saham. Setiap perusahaan yang
memiliki right issue selalu didatangi para spekulan. Ketika harga saham suatu
badan usaha sedang jatuh maka spekulan buru-buru membeliya sedangkan ketika
harga naik para spekulan menjualnya kembali atau melepas kepasar saham. Hal ini
sering membuat indeks harga saham gabungan menurun dan memperburuk perekonomian
bangsa.[13]
Dalil-dalil
Pengharaman Maisir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن
يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar
dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)
Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat
Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersada
:
مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
بِشَيْءٍ
“Siapa yang berkata kapada temannya : “Kemarilah saya
berqimar denganmu”, maka hendaknya ia bershodaqah.”
Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maisir, dan
menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada mu’amalat yang berbentuk
perlombaan atau pertaruhan. Dan hadits di atas menunjukan haramnya qimar/maisir
dan ajakan melakukannya dikenakan kaffarah (denda) dengan bershodaqoh.[14]
Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dan al-Qimaar
Para ulama berselisih dalam masalah ini dalam
dua pendapat: pertama, Al-maisir
(perjudian) dan al-qimar adalah sinonim.
Pendapat kedua, Keduanya tidak sinonim. Perbedaannya adalah:Al-qimar
adalah saling mengalahkan dan spekulatif pada harta. Al-maisir (perjudian)
mencakup semua jenis mukhatharah (spekulasi), baik dalam pertukaran
(mu’awadhah) atau bukan.
Terkadang, ada pertukaran harta dan terkadang
tidak ada. Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullahu-–mengikuti pendapat
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah–, menyatakan,
اَلسَّلَفُ كَانُوْا يُعَبِّرُوْنَ بِالَمَيْسِرِ عَنْ كُلِّ مَا فِيْهِ مُخَاطَرَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَلَمْ يَشْتَرِطُوا الْمَالَ فِي الْمَيْسِرِ
Para salaf dahulu, mengungkapkan semua yang ada mukhatharah
(spekulasi) yang diharamkan dengan ungkapan al-maisir (perjudian), dan mereka
tidak mensyaratkan adanya harta dalam al-maisir (perjudian).
Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dengan al-Gharar.
Definisi al-gharar dan al-maisir (perjudian)
tampak sekali hampir sama. Oleh karena itu, para ulama menyebut keduanya adalah
sinonim atau salah satunya bagian dari yang lain. Namun kesamaan ini tidak
berarti sama dalam pengertian keduanya. Hal itu karena sebagian jenis al-gharar
tidak dapat dinamakan al-maisir (judi). Karenanya, kata al-maisir (الميسر)
lebih khusus dari kata al-gharar (الغرر). Dengan demikian, setiap al-maisir
adalah al-gharar, dan tidak semua al-gharar adalah al-maisir. Sebuah muamalah
yang mengandung gharar terkadang tidak mengandung unsur judi.
Dr. adh-Dharir menyatakan, “Contohnya adalah:
muamalah yang berhubungan dengan ketidakjelasan pondasi tembok atau buah yang
belum jadi. Ini semua termasuk al-gharar, namun bukan al-maisir.”[15]
PENUTUP
Kesimpulan
Risiko
dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tak
diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain “kemungkinan” itu sudah
menunjukkan adanya ketidakpastian. Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang
menyebabkan tumbuhnya risiko.
Ketidaksempurnaan
informasi ini bisa muncul secara alami dan tidak ada unsur kesengajaan dari
pihak yang bertransaksi. Inilah definisi gharar. Jika terdapat unsur
kesengajaan dari salah satu pihak untuk memanipulasi informasi atau
menyembunyikannya maka ini disebut dengan tadlis (penipuan) islam melarang
adanya gharar dan tadlis dalam transaksi.
Maysir
atau qimar secara harfiah bermakna judi (spekulasi). Secara teknis adalah
setiap permainan yang di dalamnya di syaratkan adanya sesuatu (berupa materi)
yang diambil dari pihak yang kalah untuk pihak yang menang. Setiap al-maisir adalah al-gharar, dan tidak semua
al-gharar adalah al-maisir. Sebuah muamalah yang mengandung gharar terkadang
tidak mengandung unsur judi.
Islam mengajarkan kaidah “la darara
wa la dirara”. Kita tidak diperbolehan
untuk melibatkan diri kita dalam suatu kemudaratan yang akan merugikan
atau membinasakan diri kita sendiri tanpa adanya usaha untuk meminimalkan
kemudaratan tersebut. Bahkan dalam surat Al Baqarah ayat 95, Allah berfirman,
“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan”. Kaidah ini mendorong untuk lebih berhati-hati
dalam mengelola kegiatan usaha sehingga setiap risiko yang belekat pada kita
dapat diminimalisasi dan dikelola dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran,
Darmawan, Herman. 2013. MANAJEMEN RISIKO, Jakarta: Bumi Aksara.
Idroes,
Ferry N. 2011. MANAJEMEN RISIKO
PERBANKAN, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA.
Karim, W. A. (2004). Fikih
Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.Riyanto,
Kasidi. 2010. Manajemen Risiko, Bogor: Ghalia
Indonesia.
M. Nur. 2011. Dasar-Dasar EKONOMI ISLAM, Solo: PT ERA
ADICITRA INTERMEDIA.
Rustam,
Bambang Rianto.2013. Manajrmen Risiko Perbankan Syariah Di Indonesia, Jakarta:
Salemba Empat.
Wahyudi, Imam. 2013. Manajemen Risiko Bank Islam,
Jakarta: Salemba Empat.
http://al-atsariyyah.com/tidak-boleh-ada-maisir.html
http://www.alsofwah.or.id/cetakekonomi.php?id=130&idjudul=1
http://www.referensimakalah.com/2013/02/pengertian-gharar-dalam-jual-beli.html
[1] Ferry N.
Idroes, MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011.
Hal. 4
[2]Bambang
Rianto Rustam, Manajrmen Risiko Perbankan Syariah Di Indonesia, 2013: Salemba
Empat
[3] Drs.
Herman Darmawan, MANAJEMEN RISIKO, Jakarta: Bumi Aksara, 2013. Hal. 21
[4] Imam
Wahyudi dkk, Manajemen Risiko Bank Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2013. Hal.
4-5
[5] Drs.
Kasidi, M.Si, Manajemen Risiko, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Hal. 5-8
[6] Imam
Wahyudi dkk, Manajemen Risiko Bank Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2013. Hal.
14-18
[7]http://www.referensimakalah.com/2013/02/pengertian-gharar-dalam-jual-beli.html
[8] M. Nur
Riyanto, Dasar-Dasar EKONOMI ISLAM, Solo: PT ERA ADICITRA INTERMEDIA, 2011.
Hal. 104-106
[9]http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004-muhamadhar-331-BAB+II+2-4.pdf
[10]Karim, W. A. (2004). Fikih
Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.hal385-396
[11] Imam
Wahyudi dkk, Manajemen Risiko Bank Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2013. Hal:
6-7
[12] Al-Quran, surah Quraisy, ayat 1-4
[13] M. Nur
Riyanto, Dasar-Dasar EKONOMI ISLAM, Solo: PT ERA ADICITRA INTERMEDIA, 2011.
Hal. 108-110
[14]http://al-atsariyyah.com/tidak-boleh-ada-maisir.html
[15]http://www.alsofwah.or.id/cetakekonomi.php?id=130&idjudul=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar