hamster

3 Mar 2013

Al Baqarah ayat 278


Al Baqarah ayat 278





Artinya:
“Hai orang-orang yag beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”[1]











Asbabun Nuzul
Ayat ini diturunkan ialah berkenaan dengan diri paman Nabi SAW sendiri ialah Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau di zaman jahiliyah mendirikan satu perkongsian dengan seorang dari Bani al-Mughiroh, yang mata usaha mereka ialah menternakkan uang (makan riba).[2] Mereka pernah mamimjamkan uang kepada seorang dari Bani Tsaqif di Thaif. Setelah islam datang, kedua orang ini masih mempunyai sisa riba dalam jumlah besar. Begitulah lalu turun surat al Baqarah ayat 278. Kemudian Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Ketahuilah, sesungguhnya tiap-tiap riba dari riba jahiliyah harus sudah dihentikan, dan pertama kali riba yang kuhentikan ialah riba al Abbas”[3]
Artinya orang yang berhutang di Thaif itu tidak perlu lagi memberikan bunga riba itu, cukup diberikan seberapa banyak yang dihutangnya dahulu itu saja.[4]









Tafsiran
Fi Zhilalil-Qur’an I
Tinggalkan riba
Di bawah naungan kemakmuran yang penuh dengan keamanan yang dijanjikan Allah kepada kaum muslimin yang membuang riba dari kehidupannya dan notabene membuang kekufuran dan dosa-dosa, dan menegakkan kehidupan ini di atas keimanan, amal sholeh, ibadah, dan zakat, terdenngarlah seruan terakhir kepada orang-orang yang beriman agar menjauhkan kehidupan mereka dari sistem riba yang kotor dan tercela.
Nash ini menghubungkan keimanan orang-orang yang beriman untuk meninggalkan sisa riba. Mereka bukanlah orang-orang yang beriman kecuali jika mereka bertaqwa kepada Allah dan meninggalkan sisa-sisa riba. Mereka  bukan orang yang beriman walaupun mereka menyatakan sebagai orang-orang mukmin, karena tidak ada iman tanpa ketaatan, ketundukan dan kepatuhan terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah. Nash Al qur’an tidak membiarkan mereka dalam kesamaran terhadap sesuatu urusan, tidak membiarkan manusia berlindung di balik kata “iman”, sementra dia tidak taat dan tidak ridho terhadap apa yang disyariatkan Allah, dan tidak menerapkannya didalam kehidupannya. Orang-orang yang didalam beragamanya memisahkan antara akidah muamalah bukanlah orang mukmin, meskipun mereka mengaku beriman dan menyatakan dengan mulutnya atau menampakkan dalam syiar-syiar ibadahnya yang lain bahwa mereka mukmin.
“hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”
Sesungguhnya, dibiarkan saja untuk mereka hasil riba yang telah lampau, yang belum ditetapkan keharusan menarik kembali dari mereka seluruhnya atau sebagiannya dikembalikan karena tercampur dengan hasil riba. Karena tidak ada pengharaman tanpa nash dan tidak ada hukum tanpa pensyariatan, sedangkan syariat itu baru berlaku dan menimbulkan pengaruh setelah lahir. Adapun mengenai urusan yang telah lampau maka terserah kepada Allah, bukan kepada hukum perundang-undangan.
Di samping itu, dimasukkan juga kedalam hati mereka perasaan takwa, yaitu perasaan yang menghubungkan islam dengan pelaksanaan syariatnya, dan menjadikannya sebagai jaminan yang tersembunyi di dalam jiwa itu melebihi jaminan perundang-undangan itu sendiri. Karena itu ia merasa  bertanggung jawab untuk melaksanakannya, sementara hukum-hukum buatan manusia hanya mengandalkan faktor luar. Alangkah mudahnya untuk melakukan manipulasi terhadap faktor luar ini  kalau di dalam hati tidak terdapat penjaga yang punya kekuasaan yang takwa.[5]

Isi Kandungan Ayat.
Dalam ayat ini Allah menganjurkan hambaNya yang beriman supaya menjaga diri dalam taqwa dan melakukan semua yang diridhioNya dan menjauh dari semua yang dilarang dan memurkakanNya.[6]
Isyarat yang terkandung dalam ayat ini, menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak meninggalkan riba setelah adanya larangan Allah dan ancamanNya, maka orang tersebut dikatakan tidak beriman. Meskipun ia beriman terhadap apa yang dibawa oleh agama, tetapi ia mengingkari sebagian ajaranNya, bahkan tidak mengamalkannya, maka orag seperti ini dinyatakan sebagai tidak beriman, kendati melalui mulutnya menyatakan diri sebagai orang beriman.[7]



Tahap diharamkannya Riba.
Haramnya riba diturunkan dalam empat tahap:
1.      QS. Ar Rum : 39
Ayat ini diturunkan di makkah, yang menurut zhahirnya tidak ada isyarat yang menunjukkan diharamkannya riba itu. Tetapi yang ada hanya isyarat akan kemurkaan Allah terhadap riba itu. Dengan demikian, ayat ini baru berbentuk “peringatan untuk supaya berhenti dari perbuatan riba”.
2.      QS. An Nisa : 159
Ayat ini diturunkan di madinah dan merupakan pelajaran yang dikisahkan Allah kepada kita tentang perilaku Yahudi yang dilarang melakukan riba, tetapi justru mereka memakannya, bahkan menghalalkannya. Maka sebagai akibat dari itu semua, mereka ini mendapat  laknat dan kmurkaan Allah. Jadi larangan riba disini baru berbentuk isyarat, bukan dengan terang-terangan.
3.      QS. Ali Imron : 130
Ayat ini diturunkan di madinah dan merupakan larangan secara tegas. Tetapi larangan (haramnya) disini baru bersifat “juz’iy” (sebagian), belum “kulliy” (menyeluruh). Karena haramnya disini adalah satu macam riba yang ada, yang dise ut “riba fahisy” (riba yanng paling keji), yaitu suatu bentuk riba yang paling jahat, dimana hutang itu bisa berlipat ganda yang diperbuat oleh orang yang menghutanginya itu, yang justru dia hutang adalah karena butuh dan terpaksa.
4.      QS. Al Baqarah : 278
Pada tahap ini riba telah diharamkan secara menyeluruh, di mana pada periode al qur’an sudah tidak lagi membedakan banyak dan sedikit. Dan ini adalah merupakan ayat yang terakhir turunnya, yang berarti merupakan syari’at yanng terakhir pula. Ayat ini merupakan tahap terakhir tentang diharamkannya riba.[8]
Relevansi ayat dengan fenomena ekonomi kontemporer
Akibat Riba
Riba benar-benar pemerasan manusia atas manusia. Segelintir manusia hidup menggoyang-goyang kaki, dari tahun ketahun menerima kekayaan yang melimpah-limpah padahal dia tidak bekerja dan berusaha. Sedang yang menerima piutang memeras keringat mencarikan tambahan kekayaan buat oranag lain, dan dia sendiri kadang-kadang hanya lepas makan saja, dia menjadi budak selama dalam berhutang itu. Yang empunya uang hanya terima bersih saja, tidak mau tahu dari mana keuntungan yang berlipat ganda terkulai itu ia dapat.[9]
 Akibat dari perbuatan riba adalah kerusakan dan kehancuran. Banyak kita jumpai, bahwa harta seseorang ludes, rumah tangganya hancur, karena mereka memakan riba.
Sebagai penyebab timbulnya kerusakan ini adalah, karena pemberi hutang mempermudah kepada orang yang berhutang di dalam mendapatkan hutangnya, tanpa adanya ganti yang cash. Selain itu, dibumbui dengan syarat-syarat agar digunakan hanya untuk kepentingan sekundernya, yang pihak berhutang sendiri sudah berkecukupan dalam hal ini. Lalu mereka membujuknya agar lebih banyak lagi mengambil hutang darinya. Tentunya beban hutang ini terus membebani pundak orang yang berhutang sampai melebihi hutangnya sendiri. Bila tiba saat pembayaran, kemudian belum mampu membayarnya, maka ia meminta agar pembayarannya ditangguhkan. Jelas hal ini akan menambah hutangnya kembali dengan berlalunya hari ke hari. Bahkan, harta yang dimilikinya, semua sudah tercaplok oleh beban hutang. Kini orang yang berhutang menjadi miskin, tidak memiliki apa-apa lagi.[10]
Selain itu, orang yang melakukan riba terasa dikejar-kejar perasaan was-was dan bayangannya sendiri. Mereka amat sibuk dengan harta benda, hingga lupa makan dan minum. Bahkan bisa lupa kepada kerabat dan anak-anaknya sendiri, yang mengakibatkan ia tampak hina dan seperti orang yang dilanda kesusahan.
Riba telah meleburkan harapan pelakunya yang mendambakan bertambahnya harta benda. Dengan demikian ia berharap bisa menikmati kehidupan ini secara terhormat dan sejahtera. Tetapi riba justru membalikkan lamunannya dan kenyataan hidup menjadi tampak murung dan susah. Perasaan cinta harta semakin menjadi, orang yang membenci semakin banyak, dan ia pun tidak bisa berhasil mencapai hasil dari kelakuannya dalam kehidupan ini.
Cita-cita dalam kehidupannya ini ternyata hanya dilakukan dengan menjalani riba. Ia berharap agar hidup mulia dan dipandang orang. Tetapi kenyataannya justru sebaliknya, karena riba bukan merupakan sumber kebaikan. Kelak di akhirat, ia tidak mempunyai pahala dari perilakunya, sehingga ia telah kehilangan pahala dari memanfaatkan hartanya..[11]









Daftar pustaka

*      Hamka. 1983. Tafsir Al Azhar Juzu ke 3. Jakarta: Pustaka Pajimas.
*      Hamidy, Mu’ammal & imron A. Manan. 1985. Tafsir Ayat AHKAM. ASH-SHABUNI. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
*      Quthb, sayyid. 2000. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an. Jakarta: GEMA INSANI.
*      Mustafa, Ahmad Al Maragi. 1993. Tafsir Al Maragi juzu III. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 


[1]  Al-Qur’an dan terjemahnya, (Jakarta: CV Indah Press, 1992/1993).

[2] Prof. Dr. Hamka, tafsir Al Azhar juzu 3, h. 72-73
[3] Majma’ul Bayan 2:392; Zaadul Masir 1:332
[4] Prof. Dr. Hamka, tafsir Al Azhar juzu 3, h. 72-73

[5] Sayyid Quthb, tafsir Fi zhilalil Quran, h. 386-387
[6] H. Salim & H. Said Bahreisy, tafsir Ibnu Katsier, h. 506
[7] Ahmad Musthofa Al Maragi, Tafsir al Maragi, h. 115
[8]  Mu’ammal Hamidy & Imron A. Manan. Tafsir Ayat AHKAM. ASH-SHABUNI, h. 325-327
[9] Prof. Dr. Hamka, tafsir Al Azhar juzu 3, h. 73
[10] Ahmad Musthofa Al Maragi, Tafsir al Maragi, h. 102-103
[11] Ahmad Mustafa, Al Maragi, Tafsir Al Maragi juzu III, h. 113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar