Al Baqarah ayat 278
Artinya:
“Hai
orang-orang yag beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”[1]
Asbabun Nuzul
Ayat
ini diturunkan ialah berkenaan dengan diri paman Nabi SAW sendiri ialah Abbas
bin Abdul Muthalib. Beliau di zaman jahiliyah mendirikan satu perkongsian
dengan seorang dari Bani al-Mughiroh, yang mata usaha mereka ialah menternakkan
uang (makan riba).[2]
Mereka pernah mamimjamkan uang kepada seorang dari Bani Tsaqif di Thaif.
Setelah islam datang, kedua orang ini masih mempunyai sisa riba dalam jumlah
besar. Begitulah lalu turun surat al Baqarah ayat 278. Kemudian Rasulullah saw
bersabda yang artinya:
“Ketahuilah, sesungguhnya tiap-tiap
riba dari riba jahiliyah harus sudah dihentikan, dan pertama kali riba yang
kuhentikan ialah riba al Abbas”[3]
Artinya
orang yang berhutang di Thaif itu tidak perlu lagi memberikan bunga riba itu,
cukup diberikan seberapa banyak yang dihutangnya dahulu itu saja.[4]
Tafsiran
Fi
Zhilalil-Qur’an I
Tinggalkan riba
Di
bawah naungan kemakmuran yang penuh dengan keamanan yang dijanjikan Allah
kepada kaum muslimin yang membuang riba dari kehidupannya dan notabene membuang
kekufuran dan dosa-dosa, dan menegakkan kehidupan ini di atas keimanan, amal
sholeh, ibadah, dan zakat, terdenngarlah seruan terakhir kepada orang-orang
yang beriman agar menjauhkan kehidupan mereka dari sistem riba yang kotor dan
tercela.
Nash
ini menghubungkan keimanan orang-orang yang beriman untuk meninggalkan sisa
riba. Mereka bukanlah orang-orang yang beriman kecuali jika mereka bertaqwa
kepada Allah dan meninggalkan sisa-sisa riba. Mereka bukan orang yang beriman walaupun mereka
menyatakan sebagai orang-orang mukmin, karena tidak ada iman tanpa ketaatan,
ketundukan dan kepatuhan terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah. Nash Al
qur’an tidak membiarkan mereka dalam kesamaran terhadap sesuatu urusan, tidak
membiarkan manusia berlindung di balik kata “iman”, sementra dia tidak taat dan
tidak ridho terhadap apa yang disyariatkan Allah, dan tidak menerapkannya
didalam kehidupannya. Orang-orang yang didalam beragamanya memisahkan antara
akidah muamalah bukanlah orang mukmin, meskipun mereka mengaku beriman dan
menyatakan dengan mulutnya atau menampakkan dalam syiar-syiar ibadahnya yang
lain bahwa mereka mukmin.
“hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman”
Sesungguhnya,
dibiarkan saja untuk mereka hasil riba yang telah lampau, yang belum ditetapkan
keharusan menarik kembali dari mereka seluruhnya atau sebagiannya dikembalikan
karena tercampur dengan hasil riba. Karena tidak ada pengharaman tanpa nash dan
tidak ada hukum tanpa pensyariatan, sedangkan syariat itu baru berlaku dan
menimbulkan pengaruh setelah lahir. Adapun mengenai urusan yang telah lampau
maka terserah kepada Allah, bukan kepada hukum perundang-undangan.
Di
samping itu, dimasukkan juga kedalam hati mereka perasaan takwa, yaitu perasaan
yang menghubungkan islam dengan pelaksanaan syariatnya, dan menjadikannya
sebagai jaminan yang tersembunyi di dalam jiwa itu melebihi jaminan
perundang-undangan itu sendiri. Karena itu ia merasa bertanggung jawab untuk melaksanakannya,
sementara hukum-hukum buatan manusia hanya mengandalkan faktor luar. Alangkah
mudahnya untuk melakukan manipulasi terhadap faktor luar ini kalau di dalam hati tidak terdapat penjaga
yang punya kekuasaan yang takwa.[5]
Isi Kandungan Ayat.
Dalam
ayat ini Allah menganjurkan hambaNya yang beriman supaya menjaga diri dalam
taqwa dan melakukan semua yang diridhioNya dan menjauh dari semua yang dilarang
dan memurkakanNya.[6]
Isyarat
yang terkandung dalam ayat ini, menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak
meninggalkan riba setelah adanya larangan Allah dan ancamanNya, maka orang
tersebut dikatakan tidak beriman. Meskipun ia beriman terhadap apa yang dibawa
oleh agama, tetapi ia mengingkari sebagian ajaranNya, bahkan tidak
mengamalkannya, maka orag seperti ini dinyatakan sebagai tidak beriman, kendati
melalui mulutnya menyatakan diri sebagai orang beriman.[7]
Tahap diharamkannya Riba.
Haramnya
riba diturunkan dalam empat tahap:
1.
QS. Ar Rum : 39
Ayat
ini diturunkan di makkah, yang menurut zhahirnya tidak ada isyarat yang
menunjukkan diharamkannya riba itu. Tetapi yang ada hanya isyarat akan
kemurkaan Allah terhadap riba itu. Dengan demikian, ayat ini baru berbentuk
“peringatan untuk supaya berhenti dari perbuatan riba”.
2.
QS. An Nisa : 159
Ayat
ini diturunkan di madinah dan merupakan pelajaran yang dikisahkan Allah kepada
kita tentang perilaku Yahudi yang dilarang melakukan riba, tetapi justru mereka
memakannya, bahkan menghalalkannya. Maka sebagai akibat dari itu semua, mereka
ini mendapat laknat dan kmurkaan Allah.
Jadi larangan riba disini baru berbentuk isyarat, bukan dengan terang-terangan.
3.
QS. Ali Imron : 130
Ayat
ini diturunkan di madinah dan merupakan larangan secara tegas. Tetapi larangan
(haramnya) disini baru bersifat “juz’iy” (sebagian), belum “kulliy”
(menyeluruh). Karena haramnya disini adalah satu macam riba yang ada, yang dise
ut “riba fahisy” (riba yanng paling keji), yaitu suatu bentuk riba yang paling
jahat, dimana hutang itu bisa berlipat ganda yang diperbuat oleh orang yang
menghutanginya itu, yang justru dia hutang adalah karena butuh dan terpaksa.
4.
QS. Al Baqarah : 278
Pada
tahap ini riba telah diharamkan secara menyeluruh, di mana pada periode al
qur’an sudah tidak lagi membedakan banyak dan sedikit. Dan ini adalah merupakan
ayat yang terakhir turunnya, yang berarti merupakan syari’at yanng terakhir
pula. Ayat ini merupakan tahap terakhir tentang diharamkannya riba.[8]
Relevansi ayat dengan fenomena ekonomi
kontemporer
Akibat Riba
Riba benar-benar pemerasan manusia atas manusia.
Segelintir manusia hidup menggoyang-goyang kaki, dari tahun ketahun menerima
kekayaan yang melimpah-limpah padahal dia tidak bekerja dan berusaha. Sedang
yang menerima piutang memeras keringat mencarikan tambahan kekayaan buat oranag
lain, dan dia sendiri kadang-kadang hanya lepas makan saja, dia menjadi budak
selama dalam berhutang itu. Yang empunya uang hanya terima bersih saja, tidak
mau tahu dari mana keuntungan yang berlipat ganda terkulai itu ia dapat.[9]
Akibat dari
perbuatan riba adalah kerusakan dan kehancuran. Banyak kita jumpai, bahwa harta
seseorang ludes, rumah tangganya hancur, karena mereka memakan riba.
Sebagai penyebab timbulnya kerusakan ini adalah,
karena pemberi hutang mempermudah kepada orang yang berhutang di dalam
mendapatkan hutangnya, tanpa adanya ganti yang cash. Selain itu, dibumbui
dengan syarat-syarat agar digunakan hanya untuk kepentingan sekundernya, yang
pihak berhutang sendiri sudah berkecukupan dalam hal ini. Lalu mereka
membujuknya agar lebih banyak lagi mengambil hutang darinya. Tentunya beban
hutang ini terus membebani pundak orang yang berhutang sampai melebihi
hutangnya sendiri. Bila tiba saat pembayaran, kemudian belum mampu membayarnya,
maka ia meminta agar pembayarannya ditangguhkan. Jelas hal ini akan menambah
hutangnya kembali dengan berlalunya hari ke hari. Bahkan, harta yang
dimilikinya, semua sudah tercaplok oleh beban hutang. Kini orang yang berhutang
menjadi miskin, tidak memiliki apa-apa lagi.[10]
Selain
itu, orang yang melakukan riba terasa dikejar-kejar perasaan was-was dan
bayangannya sendiri. Mereka amat sibuk dengan harta benda, hingga lupa makan
dan minum. Bahkan bisa lupa kepada kerabat dan anak-anaknya sendiri, yang
mengakibatkan ia tampak hina dan seperti orang yang dilanda kesusahan.
Riba
telah meleburkan harapan pelakunya yang mendambakan bertambahnya harta benda.
Dengan demikian ia berharap bisa menikmati kehidupan ini secara terhormat dan
sejahtera. Tetapi riba justru membalikkan lamunannya dan kenyataan hidup
menjadi tampak murung dan susah. Perasaan cinta harta semakin menjadi, orang
yang membenci semakin banyak, dan ia pun tidak bisa berhasil mencapai hasil
dari kelakuannya dalam kehidupan ini.
Cita-cita
dalam kehidupannya ini ternyata hanya dilakukan dengan menjalani riba. Ia berharap
agar hidup mulia dan dipandang orang. Tetapi kenyataannya justru sebaliknya,
karena riba bukan merupakan sumber kebaikan. Kelak di akhirat, ia tidak
mempunyai pahala dari perilakunya, sehingga ia telah kehilangan pahala dari
memanfaatkan hartanya..[11]
Daftar
pustaka




[2] Prof.
Dr. Hamka, tafsir Al Azhar juzu 3, h. 72-73
[3] Majma’ul
Bayan 2:392; Zaadul Masir 1:332
[4] Prof.
Dr. Hamka, tafsir Al Azhar juzu 3, h. 72-73
[5] Sayyid
Quthb, tafsir Fi zhilalil Quran, h. 386-387
[6] H. Salim
& H. Said Bahreisy, tafsir Ibnu Katsier, h. 506
[7] Ahmad
Musthofa Al Maragi, Tafsir al Maragi, h. 115
[9] Prof.
Dr. Hamka, tafsir Al Azhar juzu 3, h. 73
[10] Ahmad
Musthofa Al Maragi, Tafsir al Maragi, h. 102-103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar