hamster

29 Mar 2013

“ Zakat Perdagangan “


PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Allah memberikan keleluasan kepada orang-orang Islam untuk bergiat dalam perdagangan, dengan syarat  tidak menjual sesuatu yang haram dan tidak mengabaikan nilai-nilai moral dalam melakukannya, seperti kejujuran, kebenaran, dan kebersihan, serta tidak hanyut terbawa kesibukan dagang sehingga lupa mengingat dan menenuaikan kewajiban terhadap Allah.
Perdagangan adalah mencari kekayaan dengan tukarannya kekayaan.  Dan perdagangan merupakan salah satu bentuk usaha yang legal, perdagangan telah menjadi mata pencaharian yang memberikan hasil tidak sedikit, dan telah memiliki kekayaan. Islam mewajibkan dari  kekayaan yang di investasikan dan diperoleh dari perdagangan itu agar dikeluarkan zakatnya, setiap tahun sebagai zakat uang, sebagai tanda terima kasih kepada Allah, membayar  hak orang-orang yang berhak, dan ikut berpartisipasi buat kemaslahatan umum demi agama dan negara yang merupakan setiap  jenis  zakat.
Salah satu landasan zakat dagang ialah firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagiandarihasilusahamu yang baik-baikdansebagiandariapa yang Kami keluarkandaribumiuntukkamu.
(QS. Al Baqarah: 267).




PEMBAHASAN
ZAKAT PERDAGANGAN
A.    Pengetian Zakat Perdagangan
Tijarah atau dagang menurut istilah fiqh adalah mengolah harta benda dengan cara tukar menukar untuk mendapatkan laba (keuntungan) dengan disertai niat berdagang.
harta dagangan  (tijarah) adalah harta yang dimiliki dengan akad tukar dengan tujuan untuk memperoleh laba dan harta yang dimilikinya harus merupakan hasil usahanya sendiri. Kalau harta yang dimilikinya itu merupakan harta warisan, maka ‘ulama maz|hab secara sepakat tidak menamakannya harta dagangan.[1]
Zakat perdagangan atau zakat perniagaan adalah zakat yang di keluarkan atas kepemilikan harta yang diperuntukkan untuk jual beli. Zakat ini dikenakan kepada perniagaan yang diusahakan baik secara perorangan maupun perserikatan, seperti CV, PT, dan Koperasi. Adapun asset tetap seperti mesin, gedung, mobil, peralatan dan asset tetap lain tidak dikenakan kewajiban zakat dan tidak termasuk harta yang harus dikeluarkan zakatnya.[2]
Hampir seluruh Ulama’ sepakat bahwa perdagangan itu setelah memenuhi syarat tertentu harus dikeluarkan zakatnya. Kewajiban zakat harta perdagangan ini berdasarkan nash al-Qur’an dan hadist.
1.      Al-Qur’an
Dasar wajibnya zakat barang dagangan dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam firman Allah Surat Al Baqarah ayat 267 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagiandarihasilusahamu yang baik-baikdansebagiandariapa yang Kami keluarkandaribumiuntukkamu.” (QS. Al Baqarah: 267).
2.      Hadits
Diantara hadist yang digunakan oleh para ulama’ untuk menunjukkan landasan zakat perdagangan adalah hadist Samurah Ibni Jundub:
“Rasulullah telah menyuruh kami untuk mengeluarkan shodaqoh dari apa apa yang kami maksudkan untuk dijual.”
Setiap perintah berarti wajib dilaksanakan, karena yang dapat disimpulkan dari kata-kata “ memerintah kami “ adalah bahwa Nabi mengeluarkan ucapan beliau dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan.[3]
B.     Syarat benda menjadi Tijarah
Kata Al Karabisy : “ Apabila ia memiliki sesuatu benda kemudian ia berniat akan memperniagakannya, menjadilah barang perniagaan, sebagimana apabila ia ambil sesuatu barang dari barang perniagaan untuk dipakai dirumah, menjadilah barang yang dipakai dirumah.
Kata Ibnu Qadamah : syarat benda barang perniagaan ialah :
1.      Harta itu dimiliki dengan jalan usaha, dengan jalan ‘iwald atau bukan.
2.      Diniatkan diketika memilikinya, bahwa barang itu untuk diperniagakan.
Jika dimiliki dengan jalan pusaka dan dimaksudkan untuk tijarah, tidaklah menjadi tijarah.
Dan diriwayatkan dari Ahmad, bahwa segala benda menjadi tijarah dengan niat.
Kata Abu hanifah, malik ,dan Asy  Syafi’y: “ sesuatu barang yang dipergunakan dirumah, kemudian diperniagakan, tidak menjadi barang perdagangan. [4]

C.    Memperniagakan barang yang wajib zakat dan yang tak wajib zakat
Apabila harta tijarah (binatang atau buah-buahan) ada satu nishab, tidak dijadikan dua zakat, zakat tijarah dan zakat ‘ain(zakat binatang). Yang wajib hanya salah satunya saja.
     Dan apabila sesuatu barang yang tak wajib zakat dibeli untuk tijarah maka jika dibeli dengan senishab mata uang pada permulaan tahun dihitung saat ketika memilki mata uang dan jika tidak senishab, dihitunglah tahun dari masa membelinya. Dan jika dibeli dengan barang yang bukan dari harta zakat, maka tahunnya dihitung saat membeli.
D.    Nishab dan haul pada harta perniagaan
Segenap ulama mengi’tibarkan nishab dan haul terhadap harta perniagaan. Namun mereka berselisihan faham tentang waktu mengi’tibarkan nishab.
Kata Asy Syafi’y dalam Al Umm : Nishab itu dipandang di akhir tahun. Demikian pula pendapat Malik
Kata Abul’ abbas ibnu Suraj: Nishab itu di hitung dari awal hingga akhir tahun. Demikian pula pendapat Ahmad.
Kata setengah ulama: Nishab itu dihitung dari awal dan akhir tahun saja. Demikian penetapann AbuHanifah.
Tentang permulaan tahun dilihat kepada harga barang. Jika barang perniagaan dibeli dengan mata uang, maka permulaan tahunnya, adalah diketika memiliki mata uang itu. Jika dibeli dengan hutang, maka permulaan tahun dihitung dari hari pembelian. Sedangkan permulaan masa satu tahun (haul) dari harta  tijarah diperinci sebagai berikut :
1.      Jika harta dagangan dimiliki dengan alat penukar yang berupa “nuqud” (emas atau perak) yang jumlahnya mencapai nis}ab, maka masa satu tahun terhitung sejak memiliki emas atau perak tersebut, bukan saat memiliki harta dagangan.
2.      Jika harta dagangan dimiliki dengan alat penukar selain emas dan perak atau dengan  nuqud yang jumlahnya tidak mencapai  nisab, maka masa satu tahun (haul) terhitung sejak memiliki harta dagangan.

E.     Syarat-Syarat Wajib Zakat Perdagangan

Satu di antara harta yang wajib dizakati adalah harta perdagangan atau juga disebut dengan harta peniagaan. Di dalam al-Qur’an, kita juga dapat menemukan dasar dalil yang digunakan para ulama fiqh dalam menetapkan hukum wajib zakat perdagangan, para sahabat, tabi’in dan ulama salaf dan menyepakati (konsensus/ ijma’) dengan menetapkan harta dagangan sebagai harta yang wajib dizakati. Syarat-syarat zakat perdagangan ialah sebagai berikut :
1.      Nisab
Harga harta perdagangan harus telah mencapai nisab emas dan perak, senilai 85 gram emas.  Nisab tersebut dihitung di akhir tahun.
Menurut mazhab maliki berpendapat bahwa, apabila seorang pedagang merupakan seorang muhtakir, ia wajib menjual barang-barang daganganya dengan nisab emas atau perak. Tetapi, jika dia merupakan seorang mudir, dia wajib menjual barang-barang daganganmya dengan berapa pun jumlah emas atau perak tersebut kendatipun hanya satu dirham.
2.      Hawl
Harga harta perdagangan, bukan harta itu sendiri, harus telah mencapai hawl, terhitung sejak dimilikinya harta tersebut.
Menurut mazhab syafi’i, yang menjadi ukuran dalam hal ini adalah akhir hawl sebab pada saat inilah zakat diwajibkan. Apabila pada awal hawl seorang pedagann memiliki harta yang bisa menyempurnakan nisab (misalnya, 100 dirham), yang setengahnya dijadikan modal dagang, kemudian pada akhir hawl hartanya mencapai 150 dirham, dia wajib zakat.
3.      Niat melakukan perdagangan saat membeli barang-barang dagangan.
Pemilik barang dagangan harus berniat dagang berdagang ketika membelinya. Adapun jika niat dilakukan setelah harta dimiliki, niatnya harus dilakukan ketika kegiatan perdagangan dimulai. Juga menurut Mazhab syafi’i mesyaratkan agar seseorang berniat melakukan perdagangan ketika transaksi berlangsung atau ketika dia masih berada ditempat transaksi, jika dia tidak berniat ketika itu, dia tidak wajib mengeluarkan zakat perdagangan. Pada setiap transaksi yang baru, niat perdagangan harus diperbarui sampai mencapai habisnya modal.[5]     
Kata “memperdagangkan” mengandung dua unsur yaitu tindakan dan niat. Tindakan adalah perbuatan pembeli dan penjual, sedangkan niat adalah maksud untuk memperolah keuntungan ada tersebut. Kedua unsur tersebut harus ada, tidak cukup salah satunya. Bila seseorang membeli sesuatu untuk dipakai sendiri degan niat apabila mneguntungkan nanti ia akan menjualnya, maka hal tersebut tidaklah termasuk barang dagangan.[6]
4.      Barang dagangan dimiliki melalui pertukaran.
Barang-barang dagangan dimiliki dengan melalui pertukaran, seperti jual-beli atau sewa-menyewa.
5.      Harta dagangan tidak dimaksudkan sebagai “ qunyah “
Apabila seseorang bermaksud melakukan qunyah terhadap hartanya, hawlnya terputus, sehingga apabila setelah itu dia hendak melakukan perdagangan, dia harus memperbaharui niatnya.

Mengenai modal uang, persoalannya sudah jelas, tetapi mengenai modal berupa barang, maka syarat wajib zakatnya sama dengan syarat wajib zakat dengan modal uang, yaitu sesudah haul (masa setahun), sesudah mencapai nisab, bebas dari hutang, dan lebih dari kebutuhan pokok. Nisab barang dagang adalah senilai harga 85 gram emas. Nisab tersebut dihitung pada akhir tahun.[7]

F.     Cara membayar zakat dagangan
Bila telah sampai masa satu tahun menjalankan kegiatan dagang di adakan perhitungan seluruh kekayaan, yaitu modal, laba, simpanan di Bank dan piutang yang diperkirakan dapat kembali. Lalu mengosongkan semua daganannya dan menggabungkan semua dagangannya dan menghitung semua barang ditambah dengan uang yang ada, baik yang digunakan untuk perdagangan maupun tidak, ditambah lagi dengan piutang yang diharapkan kembali, kemudian mengeluarkan zakatnya 2,5 %.
 Sedangkan piutang yang tidak mungkin kembali, maka piutang tersebut tidak ada zakatnya, sampai orang itu menerima piutang untuk kemudian dikeluarkan zakatnya.[8]
Pada saat menghitung kekayaan, barang tidak bergerak seperti bangunan toko, etalase dan perabot-perabot lainnya, tidak diperhitungkan. Kekayaan yang diperhitungkan adalah barang-barang yang bergerak yang langsung diperjual belikan.
Kalau ternyata tidak sampai nisabnya pada saat perhitungan, maka sebaiknya dikeluarkan infak dan sedekah sekedarnya, agar kekayaan yang ada mendapat berkah dengan harapan usaha dagang dimasa mendatangakan lebih berhasil, sehingga dapat mengeluarkan zakat. Harta sebagai karunia dari Allah perlu disyukuri, apakah harta itu sedikit atau banyak, dalam bentuk zakat, infak, atau sedekah.

G.    Perhitungan Barang Dagangan, Kadar Yang Wajib Dikeluarkan Dalam Zakat Perdagangan Dan Cara Perhitungannya.
Zakat yang wajib dikeluarkan dari harta perdagangan ialah seperempat puluh harga barang dagangan. Jumlah zakat yang wajib dikeluarkan darinya sama dengan zakat naqdayn (emas dan perak). Cara menghitung barang-barang dagangan menurut jumhur ialah ketika mencapai hawl, barang-barang dagangan hendaknya dihitung, baik disesuaikan dengan emas maupun dengan perak. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya ikhtiyath agar kaum fakir tidak terabaikan. Dengan demikian, yang dihitung bukan barang-barang yang dimiliki saat pembelian.
Ketika barang dagangan telah mencapai hawl dan nisab perak, tetapi tidak mencapai nisab emas, barang dagangan tersebut dihitung sesuai dengan nisab perak. Hal ini dimaksudkan agar kaum fakir bisa mendapatkan harta zakat, kendatipun harga barang dagangan yang disesuaikan dengan harga perak itu lebih sedikit dari nisabnya. Dan, ketika barang dagangan tersebut telah mencapai nisab emas, maka perhitungan barang dagangan harus disesuaikan dengan nisabnya. Maksudnya agar zakat tetap diwajibkan. Mengenai pembelian barang dagangan tidak ada perbedaan, baik ia dibeli dengan emas, perak maupun dengan barang-barang yang lain.
Mazhab syafi’i berpendapat bahwa barang-barang dagangan dihitung sesuai dengan harga pembelian, baik dengan harga emas maupun harga perak karena nisab barang dagangan didasarkan kepada pembeliannya. Oleh karena itu, zakat mesti diwajibkan dan ditentukan berdasarkan harga pembelian. Atas dasar ini, apabila seseorang memiliki barang dagangan yang dibeli dengan suatu mata uang tertentu, dia harus menghitung barang dagangannya dengan mata uang tersebut.
Apabila seseorang memilki barang dagangan dengan jalan menukarkannya dengan barang yang lain untuk qunyah, perhitungannya disesuaikan dengan mata uang yang berlaku di suatu daerah, baik berupa dinar maupun dirham.[9]









B.       KESIMPULAN
Zakat perdagangan atau zakat perniagaan adalah zakat yang di keluarkan atas kepemilikan harta yang diperuntukkan untuk jual beli. Zakat ini dikenakan kepada perniagaan yang diusahakan baik secara perorangan maupun perserikatan, seperti CV, PT, dan Koperasi.
Syarat barang menjadi tijarah : “ia memiliki sesuatu benda kemudian ia berniat akan memperniagakannya, menjadilah barang perniagaan, sebagimana apabila ia ambil sesuatu barang dari barang perniagaan untuk dipakai dirumah, menjadilah barang yang dipakai dirumah “.
Syarat wajib zakat perdagangan : 1) nisab, 2) hawl, 3) niat, 4) Barang dagangan dimiliki melalui pertukaran, 5) Harta dagangan tidak dimaksudkan sebagai “ qunyah “














DAFTAR PUSTAKA
Fakhrrudin. 2008,fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia,( Malang : UIN-MALANG PRESS)
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiey. 1999, pedoman Zakat, ( Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA)
Wahbah Al-Zuhayly. 2000, Zakat: kajian Berbagai Mazhab,(Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA)
Yusuf Qardhawi. 1973, Hukum Zakat,(Jakarta : PT Intermasa)


[1] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, hlm.163
[2] Fakhrudin, M.Hi, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, hlm.108
[3] Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hlm.302
[4] Tengku M.Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat.hlm. 101
[5] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat : kajian berbagai Mazhab, Op. Cit  hlm.166
[6] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Op. Cit  hlm.312
[7] Fakhrudin, M.Hi, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, hlm.113
[8] Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Op. Cit . hlm.316
[9] Fakhrudin, M.Hi, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, Op. Cit .hlm.113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar