PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah memberikan keleluasan kepada
orang-orang Islam untuk bergiat dalam perdagangan, dengan syarat tidak menjual sesuatu yang haram dan tidak
mengabaikan nilai-nilai moral dalam melakukannya, seperti kejujuran, kebenaran,
dan kebersihan, serta tidak hanyut terbawa kesibukan dagang sehingga lupa
mengingat dan menenuaikan kewajiban terhadap Allah.
Perdagangan adalah mencari kekayaan
dengan tukarannya kekayaan. Dan
perdagangan merupakan salah satu bentuk usaha yang legal, perdagangan telah
menjadi mata pencaharian yang memberikan hasil tidak sedikit, dan telah
memiliki kekayaan. Islam mewajibkan dari
kekayaan yang di investasikan dan diperoleh dari perdagangan itu agar
dikeluarkan zakatnya, setiap tahun sebagai zakat uang, sebagai tanda terima
kasih kepada Allah, membayar hak
orang-orang yang berhak, dan ikut berpartisipasi buat kemaslahatan umum demi
agama dan negara yang merupakan setiap
jenis zakat.
Salah satu landasan zakat dagang ialah firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ
الْأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagiandarihasilusahamu yang
baik-baikdansebagiandariapa yang Kami keluarkandaribumiuntukkamu.”
(QS. Al Baqarah: 267).
PEMBAHASAN
ZAKAT PERDAGANGAN
A.
Pengetian
Zakat Perdagangan
Tijarah atau dagang menurut istilah fiqh adalah mengolah harta benda dengan
cara tukar menukar untuk mendapatkan laba (keuntungan) dengan disertai niat
berdagang.
harta dagangan (tijarah) adalah
harta yang dimiliki dengan akad tukar dengan tujuan untuk memperoleh laba dan
harta yang dimilikinya harus merupakan hasil usahanya sendiri. Kalau harta yang
dimilikinya itu merupakan harta warisan, maka ‘ulama maz|hab secara sepakat
tidak menamakannya harta dagangan.[1]
Zakat perdagangan atau zakat perniagaan adalah zakat yang di keluarkan atas
kepemilikan harta yang diperuntukkan untuk jual beli. Zakat ini dikenakan kepada
perniagaan yang diusahakan baik secara perorangan maupun perserikatan, seperti
CV, PT, dan Koperasi. Adapun asset tetap seperti mesin, gedung, mobil,
peralatan dan asset tetap lain tidak dikenakan kewajiban zakat dan tidak termasuk
harta yang harus dikeluarkan zakatnya.[2]
Hampir seluruh Ulama’
sepakat bahwa perdagangan itu setelah memenuhi syarat tertentu harus dikeluarkan zakatnya.
Kewajiban zakat harta perdagangan ini berdasarkan nash
al-Qur’an dan hadist.
1.
Al-Qur’an
Dasar wajibnya
zakat barang dagangan dalam
al-Qur’an dapat dilihat dalam firman
Allah Surat Al
Baqarah ayat 267 yang
berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ
الْأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagiandarihasilusahamu yang
baik-baikdansebagiandariapa yang Kami keluarkandaribumiuntukkamu.” (QS. Al
Baqarah: 267).
2. Hadits
Diantara hadist
yang digunakan oleh para ulama’
untuk menunjukkan landasan
zakat perdagangan adalah hadist Samurah Ibni Jundub:
“Rasulullah telah menyuruh
kami untuk mengeluarkan shodaqoh dari apa apa
yang kami maksudkan untuk dijual.”
Setiap perintah berarti wajib dilaksanakan,
karena yang dapat disimpulkan dari kata-kata “ memerintah kami “ adalah bahwa
Nabi mengeluarkan ucapan beliau dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan.[3]
B. Syarat benda menjadi Tijarah
Kata Al Karabisy : “ Apabila ia memiliki sesuatu
benda kemudian ia berniat akan memperniagakannya, menjadilah barang perniagaan,
sebagimana apabila ia ambil sesuatu barang dari barang perniagaan untuk dipakai
dirumah, menjadilah barang yang dipakai dirumah.
Kata Ibnu Qadamah : syarat benda barang
perniagaan ialah :
1. Harta itu dimiliki dengan jalan usaha, dengan
jalan ‘iwald atau bukan.
2. Diniatkan diketika memilikinya, bahwa barang
itu untuk diperniagakan.
Jika dimiliki dengan jalan pusaka dan
dimaksudkan untuk tijarah, tidaklah menjadi tijarah.
Dan diriwayatkan dari Ahmad, bahwa segala benda menjadi tijarah
dengan niat.
Kata Abu
hanifah, malik ,dan Asy Syafi’y: “
sesuatu barang yang dipergunakan dirumah, kemudian diperniagakan, tidak menjadi
barang perdagangan. [4]
C.
Memperniagakan
barang yang wajib zakat dan yang tak wajib zakat
Apabila harta
tijarah (binatang atau buah-buahan) ada satu nishab, tidak dijadikan dua zakat,
zakat tijarah dan zakat ‘ain(zakat binatang). Yang wajib hanya salah satunya
saja.
Dan
apabila sesuatu barang yang tak wajib zakat dibeli untuk tijarah maka jika
dibeli dengan senishab mata uang pada permulaan tahun dihitung saat ketika
memilki mata uang dan jika tidak senishab, dihitunglah tahun dari masa
membelinya. Dan jika dibeli dengan barang yang bukan dari harta zakat, maka tahunnya
dihitung saat membeli.
D.
Nishab
dan haul pada harta perniagaan
Segenap ulama
mengi’tibarkan nishab dan haul terhadap harta perniagaan. Namun mereka
berselisihan faham tentang waktu mengi’tibarkan nishab.
Kata Asy
Syafi’y dalam Al Umm : Nishab itu dipandang di akhir tahun. Demikian pula
pendapat Malik
Kata Abul’
abbas ibnu Suraj: Nishab itu di hitung dari awal hingga akhir tahun. Demikian
pula pendapat Ahmad.
Kata setengah
ulama: Nishab itu dihitung dari awal dan akhir tahun saja. Demikian penetapann
AbuHanifah.
Tentang
permulaan tahun dilihat kepada harga barang. Jika barang perniagaan dibeli
dengan mata uang, maka permulaan tahunnya, adalah diketika memiliki mata uang
itu. Jika dibeli dengan hutang, maka permulaan tahun dihitung dari hari
pembelian. Sedangkan permulaan masa satu tahun (haul)
dari harta tijarah diperinci sebagai
berikut :
1. Jika harta dagangan dimiliki dengan alat
penukar yang berupa “nuqud” (emas atau perak) yang jumlahnya mencapai nis}ab,
maka masa satu tahun terhitung sejak memiliki emas atau perak tersebut, bukan
saat memiliki harta dagangan.
2. Jika harta dagangan dimiliki dengan alat
penukar selain emas dan perak atau dengan
nuqud yang jumlahnya tidak mencapai
nisab, maka masa satu tahun (haul) terhitung sejak memiliki harta
dagangan.
E.
Syarat-Syarat Wajib Zakat Perdagangan
Satu di antara harta yang wajib dizakati
adalah harta perdagangan atau juga disebut dengan harta peniagaan. Di dalam
al-Qur’an, kita juga dapat menemukan dasar dalil yang digunakan para ulama fiqh
dalam menetapkan hukum wajib zakat perdagangan, para sahabat, tabi’in dan
ulama salaf dan menyepakati (konsensus/ ijma’) dengan menetapkan harta dagangan
sebagai harta yang wajib dizakati. Syarat-syarat zakat perdagangan ialah
sebagai berikut :
1.
Nisab
Harga harta perdagangan harus
telah mencapai nisab emas dan perak, senilai 85 gram emas. Nisab tersebut dihitung di akhir tahun.
Menurut mazhab maliki
berpendapat bahwa, apabila seorang pedagang merupakan seorang muhtakir,
ia wajib menjual barang-barang daganganya dengan nisab emas atau perak. Tetapi,
jika dia merupakan seorang mudir, dia wajib menjual barang-barang
daganganmya dengan berapa pun jumlah emas atau perak tersebut kendatipun hanya
satu dirham.
2.
Hawl
Harga harta perdagangan, bukan
harta itu sendiri, harus telah mencapai hawl, terhitung sejak dimilikinya harta
tersebut.
Menurut mazhab syafi’i, yang
menjadi ukuran dalam hal ini adalah akhir hawl sebab pada saat inilah zakat
diwajibkan. Apabila pada awal hawl seorang pedagann memiliki harta yang bisa
menyempurnakan nisab (misalnya, 100 dirham), yang setengahnya dijadikan modal
dagang, kemudian pada akhir hawl hartanya mencapai 150 dirham, dia wajib zakat.
3.
Niat melakukan perdagangan saat membeli
barang-barang dagangan.
Pemilik barang dagangan harus berniat dagang
berdagang ketika membelinya. Adapun jika niat dilakukan setelah harta dimiliki,
niatnya harus dilakukan ketika kegiatan perdagangan dimulai. Juga menurut
Mazhab syafi’i mesyaratkan agar seseorang berniat melakukan perdagangan ketika
transaksi berlangsung atau ketika dia masih berada ditempat transaksi, jika dia
tidak berniat ketika itu, dia tidak wajib mengeluarkan zakat perdagangan. Pada
setiap transaksi yang baru, niat perdagangan harus diperbarui sampai mencapai
habisnya modal.[5]
Kata
“memperdagangkan” mengandung dua unsur yaitu tindakan dan niat. Tindakan adalah
perbuatan pembeli dan penjual, sedangkan niat adalah maksud untuk memperolah
keuntungan ada tersebut. Kedua unsur tersebut harus ada, tidak cukup salah
satunya. Bila seseorang membeli sesuatu untuk dipakai sendiri degan niat
apabila mneguntungkan nanti ia akan menjualnya, maka hal tersebut tidaklah
termasuk barang dagangan.[6]
4. Barang dagangan dimiliki melalui pertukaran.
Barang-barang dagangan dimiliki dengan melalui
pertukaran, seperti jual-beli atau sewa-menyewa.
5. Harta dagangan tidak dimaksudkan sebagai “
qunyah “
Apabila seseorang bermaksud melakukan qunyah terhadap
hartanya, hawlnya terputus, sehingga apabila setelah itu dia hendak melakukan perdagangan,
dia harus memperbaharui niatnya.
Mengenai modal uang, persoalannya sudah jelas, tetapi mengenai modal berupa
barang, maka syarat wajib zakatnya sama dengan syarat wajib zakat dengan modal
uang, yaitu sesudah haul (masa setahun), sesudah mencapai nisab, bebas dari
hutang, dan lebih dari kebutuhan pokok. Nisab barang dagang adalah senilai harga 85 gram emas. Nisab
tersebut dihitung pada akhir tahun.[7]
F.
Cara
membayar zakat dagangan
Bila telah sampai masa satu tahun menjalankan kegiatan dagang di adakan perhitungan
seluruh kekayaan, yaitu modal, laba, simpanan di Bank dan piutang yang
diperkirakan dapat kembali. Lalu mengosongkan semua daganannya dan menggabungkan
semua dagangannya dan menghitung semua barang ditambah dengan uang yang ada,
baik yang digunakan untuk perdagangan maupun tidak, ditambah lagi dengan
piutang yang diharapkan kembali, kemudian mengeluarkan zakatnya 2,5 %.
Sedangkan piutang yang tidak mungkin
kembali, maka piutang tersebut tidak ada zakatnya, sampai orang itu menerima
piutang untuk kemudian dikeluarkan zakatnya.[8]
Pada saat menghitung kekayaan,
barang tidak bergerak seperti bangunan
toko,
etalase dan perabot-perabot lainnya,
tidak diperhitungkan.
Kekayaan yang diperhitungkan adalah barang-barang
yang bergerak yang langsung diperjual belikan.
Kalau ternyata tidak sampai nisabnya pada saat
perhitungan, maka sebaiknya dikeluarkan infak dan sedekah sekedarnya, agar
kekayaan yang ada mendapat berkah dengan harapan usaha dagang dimasa mendatangakan
lebih berhasil, sehingga dapat mengeluarkan zakat. Harta sebagai karunia dari
Allah perlu disyukuri,
apakah harta itu sedikit atau banyak,
dalam bentuk zakat,
infak, atau sedekah.
G.
Perhitungan Barang Dagangan, Kadar Yang Wajib Dikeluarkan Dalam
Zakat Perdagangan Dan Cara Perhitungannya.
Zakat yang wajib dikeluarkan dari
harta perdagangan ialah seperempat puluh harga barang dagangan. Jumlah zakat
yang wajib dikeluarkan darinya sama dengan zakat naqdayn (emas dan perak). Cara
menghitung barang-barang dagangan menurut jumhur ialah ketika mencapai hawl,
barang-barang dagangan hendaknya dihitung, baik disesuaikan dengan emas maupun
dengan perak. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya ikhtiyath agar kaum fakir tidak
terabaikan. Dengan demikian, yang dihitung bukan barang-barang yang dimiliki
saat pembelian.
Ketika barang dagangan telah
mencapai hawl dan nisab perak, tetapi tidak mencapai nisab emas, barang
dagangan tersebut dihitung sesuai dengan nisab perak. Hal ini dimaksudkan agar
kaum fakir bisa mendapatkan harta zakat, kendatipun harga barang dagangan yang
disesuaikan dengan harga perak itu lebih sedikit dari nisabnya. Dan, ketika
barang dagangan tersebut telah mencapai nisab emas, maka perhitungan barang
dagangan harus disesuaikan dengan nisabnya. Maksudnya agar zakat tetap
diwajibkan. Mengenai pembelian barang dagangan tidak ada perbedaan, baik ia
dibeli dengan emas, perak maupun dengan barang-barang yang lain.
Mazhab syafi’i berpendapat bahwa
barang-barang dagangan dihitung sesuai dengan harga pembelian, baik dengan
harga emas maupun harga perak karena nisab barang dagangan didasarkan kepada
pembeliannya. Oleh karena itu, zakat mesti diwajibkan dan ditentukan
berdasarkan harga pembelian. Atas dasar ini, apabila seseorang memiliki barang
dagangan yang dibeli dengan suatu mata uang tertentu, dia harus menghitung
barang dagangannya dengan mata uang tersebut.
Apabila seseorang memilki barang
dagangan dengan jalan menukarkannya dengan barang yang lain untuk qunyah,
perhitungannya disesuaikan dengan mata uang yang berlaku di suatu daerah, baik
berupa dinar maupun dirham.[9]
B. KESIMPULAN
Zakat perdagangan atau zakat perniagaan adalah
zakat yang di keluarkan atas kepemilikan harta yang diperuntukkan untuk jual
beli. Zakat ini dikenakan kepada perniagaan yang diusahakan baik secara
perorangan maupun perserikatan, seperti CV, PT, dan Koperasi.
Syarat barang menjadi tijarah : “ia memiliki
sesuatu benda kemudian ia berniat akan memperniagakannya, menjadilah barang
perniagaan, sebagimana apabila ia ambil sesuatu barang dari barang perniagaan
untuk dipakai dirumah, menjadilah barang yang dipakai dirumah “.
Syarat wajib zakat perdagangan : 1) nisab, 2)
hawl, 3) niat, 4) Barang dagangan dimiliki melalui pertukaran, 5) Harta
dagangan tidak dimaksudkan sebagai “ qunyah “
DAFTAR PUSTAKA
Fakhrrudin. 2008,fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia,( Malang :
UIN-MALANG PRESS)
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiey. 1999, pedoman Zakat, ( Semarang
: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA)
Wahbah Al-Zuhayly. 2000, Zakat: kajian Berbagai Mazhab,(Bandung : PT
REMAJA ROSDAKARYA)
Yusuf Qardhawi. 1973, Hukum Zakat,(Jakarta : PT Intermasa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar