hamster

3 Mar 2013


BAB I
PENDAHULUAN

       I.            LATAR BELAKANG

Kewajiban zakat dalam islam memiliki makna yang sangat fundamental. Selain berkaitan erat dengan aspek-aspek ketuhanan, juga ekonomi dan social. Diantara aspek-aspek ketuhanan adalah banyaknya ayat-ayat al Quran yang menyebut masalah zakat, termasuk diantaranya 27 ayat  yang menyandingkan kewajiban zakat dengan kewajiban sholat secara bersamaan. Bahkan Rasulullah menempatkan zakat sebagai salah satu pilar utama dalam menegakkan agama islam.
Sedangkan dari aspek keadilan social, perintah zakat dapat dipahami sebagai ssatu kesatuan system yang tak terpisahkan dalam pencapaian kesejahteraan social-ekonomi dan kemasyarakatan. Zakat diharapkan dapat meminimalisir kesenjangan pendapatan antara orang kaya dan miskin. Disamping itu, zakat juga diharapkan dapat meningkatkan atau menumbuhkan perekonomian, baik pada level individu maupun pada level social masyarakat. Namun sanyagnya, kewajiban zakat ini masing jarang dibuktikan dengan logika ekonomi (kebijakan fiscal), karena masih banyak orang yang menganngap bahwa zakat merupakan factor yang dapat mengurangi pendapatan kena pajak seseorang. Untuk itu, para ekonomi islam dan ahli hukum islam harus mampu menjelaskan hal ini dengan nalar yang dapat diterima oleh masyarakat yang lebih mengedepankan rasional tersebut (masyarakat sekuler).
Namun seiring dengan perkembangan zaman mulailah diperkenalkan system pajak. Pada mulanya, pajak dipungut dari kalangan non muslim atas jaminan keamanan yang mereka terima dari Negara. Tetapi pada perkembangannya pajak juga diterapkan pada kaum muslimin terhadap harta kekayaan yang berada diluar jenis-jenis harta yang telah ditentukan untuk dukeluarkan zakatnya.
Dalam sejarah islam, zakat dan pajak pernah diterapkan secara bersamaan. Dalam literature fiqh dan sejarah ditemukan istilah kharaj, jizyah, dan ushr. Bahkan Abu Yusuf, salah seorang pemuka mazhab Hanafi, menulis karya yang bertajuk al-kharaj, yang membahas persoalan pajak tanah. Ironisnya pajak sebagai sumber penerimaan Negara mengalami penguatan, sementara zakat mengalami kemunduran dan dianggap menjadi tanggunga jawab masing-masing individu muslim. Hal ini diperparah lagi dengan hancurnya kekhalufahan islam dan munculnya system nation-state akibat kolonialisme. Kolonialisme bukan hannya menjajah wilayah dan masyarakat islam, tetapi juga menghancurkan system ekonomi yang telah dibangun dan memperkenalkan system perekonomian baru.   


    II.            RUMUSAN MASALAH

Ø  Mengetahui pengertian zakat dan pajak.
Ø  Mengetahui landasan hukum, syarat, dan macam - macam zakat.
Ø  Mengetahui macam - macam, dan kewajiban membayar pajak.
Ø  Memahami perbedaan zakat dan pajak serta pembayarannya.













BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAYARAN PAJAK DAN ZAKAT

A.    PENGERTIAN ZAKAT
1.      Teori Zakat
Zakat menurut bahasa berasal dari kata zakaa, yang artinya bertambah dan berkembang sebagaimana ungkapan orang Arab zakaa al-jar’u, artinya pohon tersebut tumbuh dan berkembang. Sedangkan zakat menurut istilah sebagaimana ditulis oleh al-Mawardi dalam kitab al-Hawi, ialah pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu untuk diberikan kepada golongan tertentu.[1]
Hubungan pengertian zakat secara bahasa dan istilah sangat nyata dan erat sekali, yaitu bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah, bertambah, berkembang dan bertambah, suci dan bersih (baik).[2] Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat beberapa kata yang sering dipergunakan untuk zakat, yaitu shadaqah (benar), infaq (mengeluarkan sesuatu kebaikan selain zakat) dan hak (zakat merupakan hak para mustahik atau penerimanya).
2.      Syarat dan Harta Wajib Zakat
a. Syarat Wajib Zakat
Para ahli fiqih bersepakat bahwa zakat diwajibkan kepada orang yang merdeka, beragama Islam, baligh dan berakal, mengetahui bahwa zakat adalah wajib hukumnya, lelaki atau perempuan. [3]
b. Harta Wajib Zakat
Sejalan dengan ketentuan ajaran Islam yang selalu menetapkan standar umum pada setiap kewajiban yang dibebankan kepada umatnya, maka dalam penetapan harta menjadi sumber atau objek wajib zakat pun harus memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:
ü  Harta milik penuh (al-milku at-tam).[4]
ü  Berkembang (an namaa’).
ü  Cukup nisbah.
ü  Lebih dari kebutuhan pokok.
ü  Bebas dari hutang.
ü  Sudah satu tahun. [5]
3.      Macam-Macam Zakat
Zakat terbagi menjadi dua bagaian, yaitu:
1.      Zakat Fitrah, yaitu zakat yang sebab diwajibkannya adalah pada bulan Ramadhan. Disebut pula dengan sedekah fitrah. Zakat ini diwajibkan pada tahun kedua hijriah, yaitu tahun diwajibkannya puasa, yang bertujuan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya, untuk memberikan makan pada orang-orang miskin dan mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada Hari Raya Idul Fitri.
2.      Zakat Harta (al-maal), yakni zakat yang dikeluarkan karena telah diperolehnya suatu harta kekayaan. Harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat digunakan menurut lazimnya. Sesuatu dapat disebut harta (al-maal) jika memenuhi dua syarat, yaitu:[6]
§  Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun dan dikuasai.
§  Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan lazimnya.
Sedangkan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya meliputi:
§  Hasil pertanian.
§  Harta terpendam, barang tambang dan kekayaan laut.
§  Emas dan perak.
§  Perniagaan dan perusahaan.
§  Binatang ternak.
§  Saham dan surat berharga.
§  Hadiah atau harta tidak terduga.
§  Profesi.
4.      Landasan Hukum Zakat
Hukum zakat bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai berikut:
1)      Al-Qur’an
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ  
a)      103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ  

b)      Surat Al-Baqarah ayat 267: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
2)      As-Sunnah
“Dari Ibu Abbas: bahwa Nabi SAW mengutus Muadz ke Yaman, maka Nabi bersabda: ‘Ajaklah mereka (penduduk Yaman) untuk mengucapkan syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku (Muhammad) utusan Allah. Jika mereka menaati kepada hal itu, maka beritahukanlah bahwa Allah menwajibkan bagi mereka lima shalat fardhu dalam sehari semalan. Jika mereka telah maati kepada hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan adanya sedekah (zakat) atas harta mereka dan berikan kepada mereka yang miskin.’”
5.      Hikmah Zakat
Ø  Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT.
Ø  Menolong, membantu dan membina para mustahik, terutama fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera.
Ø  Pemerataan pendapatan masyarakat, sehingga mengurangi kesenjangan antara orang yang mempunyai limpahan harta dengan orang yang kekurangan hartanya.

B.     PENGERTIAN PAJAK
1.      Teori Pajak
Pajak adalah beban kewajiban yang harus ditanggung oleh masyarakat didalam suatu negara, baik hal itu bersifat personal maupun kelompok. Yang kegunaannya adalah untuk membiayai kebutuhan negara didalam pembangunannya. Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukakn berbagai jenis perbelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki infrastuktur, menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan membiayai setiap kegiatan untuk menjaga keamanan negara merupakan pengeluaran yang tidak bisa dielakkan oleh pemerintah, dana tersebut terutama diperoleh dari pemungutan pajak.[7]
Berdasarkan definisi pajak di atas, unsur-unsur yang melekat pada pengertian pajak adalah:
v  Pajak merupakan pungutan pemerintah.
v  Secara paksa berdasarkan Undang-Undang.
v  Sebagai penutup pengeluaran-pengeluaran umum.
v  Tanpa ada jasa (prestasi) timbal balik secara khusus.[8]
2.      Macam - Macam Pajak
Menurut golongannya, secara garis besar berbagai jenis pajak-pajak yang dipungut pemerintah dapat dibedakan kepada dua golongan, yaitu:
1)      Pajak Langsung, adalah jenis pungutan pemerintah secara langsung dikumpulkan dari pihak yang wajib membayar pajak.[9]
2)      Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang bebannya boleh dipindah-pindahkan kepada pihak lain. [10]
Pembagian pajak menurut sifatnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pajak subjektif (bersifat perorangan) dan pajak objektif (bersifat kebendaan).
1)      Pajak Subjektif, adalah pajak yang memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi wajib pajak, untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang objektif berhubungan erat dengan keadaan matrialnya, yaitu yang disebut gaya pikulnya.[11]
2)      Pajak Objektif, adalah pajak yang pertama-tama memperhatikan kepada objeknya baik itu berupa benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak, kemudian barulah dicari subjeknya (orang atau badan) yang bersangkutan lansung, dengan tidak mempersoalkan apakah subjek itu berkediatam di Indonesia atau tidak.[12]
Menurut lembaga pemungutnya, pajak dapat dibagi menjadi dua yaitu pajak negara (pajak pusat) dan pajak daerah.
1.      Pajak Negara, ialah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraanya dilaksanakan oleh departemen keuangan dan hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara pada umumnya.[13]
2.      Pajak Daerah, yaitu pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah seperti propinsi, kabupaten maupun kotamadya berdasarkan peraturan pemerintah daerah masing-masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan Rumah Tangga Daerah masing-masing.[14]

C.    KEWAJIBAN MEMBAYAR PAJAK.

Menurut pendapat beberapa ahli fiqih, tidak ada kewajiban atas harta selain zakat. Banyak hadist yang dianggap mencela pemungutan pajak, antara lain:
 Ahmad:
 حد ثنا محمد بن سلمة عن ابن ا سحا ق عن يزيد بن ا بي حبيب عن عبد الرحمن شما سة التحيبي
عن عقبة بن عامر قا ل سمعت ر سو ل الله عليه وسلم يقول ل يدحل الجنة صا حب مكس يعني العشا ر

Rasulullah S.A.W. bersabda : “ Tidak akan masuk surga orang yang memungut pungutan, yaitu orang yang memungut 1/10.”
(Matan lain: 24548 Darimi, 1606)
Ahmad:
حد ثنا قتيبة بن سعيد قال حد ثنا ابن لهبعة عن يلزيد بن ابى حبيب عن ابى الخير قال عرض مسلمة
ين مخلد وكان اميرا على مصر على روىفع بن ثابت ان يوليه العشور فقال اني سمعت ر سو ل الله
عليه وسلم يقول ان صاحب الكس في النار.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang memungut muks itu masuk neraka.”
(Matan: Infirad)

Menurut Yusuf Qardawi[15] hadis tersebut tidak mengecam pajak secara mutlak, karena kata muks memang tidak mengandung suatu makna yang dapat dibatasi secara bahasa maupun hukum. Muks adalah harta atau uang yang dipungut oleh pemungut zakat setelah pemungutan pajak. Dalam hal ini berarti mereka membuat aniaya dalam pekerjaannya, mereka memungut harta yang bukan menjadi haknya. Tentu saja ini berbeda dengan pajak yang berguna untuk mengisi kas Negara yang kemudian didistribusikan untuk kepentingan seluruh warganya.
Pajak memang tidak sama dengan zakat, namun membayar pajak yang dibebankan oleh Negara pada warganya bukan sekedar kebolehan, tetapi merupakan kewajiban. Hal ini dikarenakan, pertama taat pada ulul amri adalah kewajiban dengan [16]catatan  ulul amri yang taat pada islam. Jika pemerintah mewajibkan pajak, maka sebagai warga Negara harus menaatinya. Kedua, solidaritas sesama muslim dan sesama manusia dalam kebaikan dan ketaqwaan adalah sebuah kewajiban. Jika dana pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum, maka wajib hukumnya membayar zakat. Ketiga, kewajiban social lainnya yaitu dapat berupa pajak, sedekah sunnah, infaq, hibah, dan juga waqaf.




D.    PEMBAYARAN PAJAK DAN ZAKAT.

Persoalan pajak dan zakat mendapatkan porsi yang cukup besar dalam hazanah pemikiran ekonomi islam. Hal ini di sebabkan adanya dua kewajiban yang harus dibayar oleh umat islam, sehingga mereka memikul kewajiban yang lebih besar dari non muslim. Lantas apakah umat islam masih dikenakan kewajiban pajak jika sudah membayar kewajiban zakat? Apakah kewajiban pajak meruntuhkan kewajiban zakat? Untuk menjawap persoalan tersebut, beberapa ahli fiqh berbeda pendapat dalam hal ini, antara lain:
1.      Imam Nawawi berpendapat bahwa kharaj yang di pungut 1/10 dari tanah pertanian sama dengan kewajiban 1/10 dalam zakat pertanian, dan keduanya sama-sama untuk kepentingan umum. Pendapat ini ditentang karena pemerintah yang memungut pajak (kharaj) dari rakyatnnya tidak menganggap sebagai pengganti zakat, karena pemerintah memungutnya dari orang islam dan non islam, kemudian digunakan untuk kepentingan umum bukan sasaran zakat secara pasti.
2.      Yusuf Qardawi menganggap bahwa zakat dan pajak adalah sesuatu yang pajak bagi seorang muslim disamping kewajiban zakat. Jika seorang muslim sudah membayar pajak, maka ia tetap masih mempunyai kewajiban membayar zakat.[17]
3.      Imam Nawawi dari nadzhab Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa seorang muslim boleh membayar pajak dengan diniati membayar zakat. Denngan demikian seorang muslim dapat memilih salah satu dari keduanya. Kewajiban zakat memiliki makna yang sangat fundamental, selain sebagai kewajiban spiritual, juga terkait dengan aspek ekonomi dan social.
4.      Syekhul Hadi Permono, pendayagunaan zakat sama halnya dengan pendayagunaan pajak kecuali empat hal yaitu; pertama, untuk kepentingan non islam. Kedua, untuk kepentingan aliran kepercayaan. Ketiga, kepentingan yang tidak mengandunng taqarrub. Keempat, kepentingan yang berbau maksiat.[18]
5.      Masdar Farid Mas’udi menyatakan bahwa ada tiga kelemahan dasar praktik zakat. Yaitu dari sisi filosofis, struktur, kelembagaan dan manajement operasionalnya, sehingga ajaran zakat yang semula merupakan proses social telah tereduksi hanya menjadi aktivitas personal yang sangat tergantung pada kesadaran masing-masing individu dengan dampak yang juga individual.[19] Seharusnnya zakat dan pajak bukanlah sesuatu yang harus dipisah, melainkan yang harus disatukan. Dalam hal ini, zakat menjadi sandaran  filosofi pajak, dan pajak menjadi pelaksana dari zakat itu sendiri. Jika manunggalnya zakat dengan pajak ini dapat diterima oleh islam, maka bagaimana hal ini dapat diterima oleh masyarakat plural. Karena zakat itu sendiri bukan monopoli umat Muhammad, melainkan merupakan ajaran para nabi dan rasul sebelmnya, seperti Ibrahim, Ishaq, Ya’kub,[20] Isa, [21]dan Bani Israil. Dengan demikian, zakat merupakan perintah yang universal bagi semua agama. Oleh sebab itu, zakat hendaknya dapat diterima oleh nalar sekunder, dengan mempertemukannya dengan nalar keagamaan, tentu saja tidak harus menggunakan terminology zakat, tapi yang terpenting adalah substansi, yaitu mendistribusikan kekayaan untuk tujuan kemanusiaan.


 E. PERUMUSAN DAN PERBEDAAN ZAKAT DAN PAJAK

1. Perumusan Zakat dan Pajak                                                                              
a)      Unsur Paksaan
Bagi seorang muslim yang hartanya telah memenuhi syarat zakat maka ia harus menunaikan kewajibannya yang diwakili oleh petugas zakat yaitu amil. Demikian halnya dengan orang yang sudah masuk kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa kepadanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
b)      Unsur Pengelola
Asas pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam surat at-Taubah ayat 60. Pengelolaan zakat bukanlah semata-mata dilakukan secara individual, dari muzakki diserahkan langsung kepada mustahik, akan tetapi dilakukan olah sebuah lembaga yang menangani zakat yang memenuhi persyaratan tertentu. Sedangkan pengelolaan pajak, jelas harus diatur oleh negara.
c)      Sudut Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat.
Zakat memiliki tujuan yang sangat mulia bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan dan ketentraman. Demikian pula dengan pajak sebagai sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata dan berkesinambungan antara kebutuhan material dan spiritual.









2. Perbedaan Antara Zakat dan Pajak
No.
Macam
Zakat
Pajak
1.
Pengertian
Bersih, bertambah dan berkembang
Utang, upeti, iuran kepada Negara
2.
Landasan Hukum
Al-Qur’an dan As-Sunnah
Undang-Undang suatu Negara
3.
Nisab dan Tarif
Ditentukan Allah SWT dan bersifat mutlak nisbah zakat memiliki ukuran tetap
Ditentukan oleh negara dan bersifat relatif. Nisbahnya berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran dihapuskan
4.
Sifat
Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus
Kewajiban bersifat kebutuhan dan dapat dihapuskan
5.
Subjek
Muslim
Semua warga Negara
6.
Objek Alokasi Penerimaan
Tetap 8 golongan (ashnaf)
Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin
7.
Harta yang Dikenakan
Harta yang produktif

8.
Syarat Ijab Qabul
Disyaratkan
Semua harta
9.
Sanksi
Pahala dari Allah SWT
Dari Negara
10.
Penghitungan
Dipercayakan kepada muzakki dan adanya amilin (petugas zakat)
Self. Assesment System, wajib pajak menghitung sendiri besarnya pajak terhutang melalui penyampaian SPT




KESIMPULAN
Segala yang terpendam di dalam lapisan bumi bagian dalam yang tidak menjadi milik orang yang memiliki permukaannya. Benda-benda itu merupakan simpanan Allah yang diperuntukkan rakyat.
Perintah untuk melaksanakan zakat begitu banyak muncul dalam Al Quran dengan berbagai cara dan bentuk yang sebagian besar di antaranya dirangkaikan dengan perintah sholat. Tentang apa yang di zakatkan, oleh siapa, berapa besar dan bagaimana caranya, tidak dijelaskan secara rinci dalam Al Quran. Karena itu Nabi harus menggunakan nalarnya untuk mengetahui maksud Allah dengan pedoman kepada ayat-ayat yang sudah ada, kemudian menjelaskannya kepada umat dengan sunnahnya.
            Islam mengajar agar tidak saja menunaikan zakat yang terbatas jumlah dan pemanfaatannya, tetapi juga menganjurkan membayat pajak.
Zakat merupakan kewajiban spiritual seorang muslim, sedang pajak merupakan kewajiban warga negara kepada negaranya.
Pajak adalah beban kewajiban yang harus ditanggung oleh masyarakat didalam suatu negara yang kegunaannya adalah untuk membiayai kebutuhan negara didalam pembangunannya


DAFTAR PUSTAKA



§  Al-Qur’an Al-Karim.
§  Nur Diana, Ilfi, Hadis-Hadis Ekonomi, UIN- Malang press: 2000
§  Ridwan,Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Maal Wattamwil. Yogyakarta:UII Press.
§  Mhd. Ali,Nuruddin. 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebigakan Fiskal. Jakarta:PT RAJA GRAVINDO PERSADA.
§  Bagir Al-Habsyi, Muhammad. 1999. Fiqh Praktis. Bandung:MIZAN.
§  Nur Diana, Ilfi. 2008. Hadis-Hadis Ekonomi. Malang:UIN-MALANG PRESS.
§  Diana, Anastasia dan lilies setrawati. 2004. Perpajakan Indonesia. Yogyakarta: ANDI YOGYAKARTA.
§  Bidihardjo, R. Soeroso, SH. 2000. Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung: PT. Rofido Utama.
§  Bohari, H 2002. Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
§  Hafidhuddin, DR. K.H. Didin, M.Si, 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press.
§  R. Soeroso Bidihardjo, SH. 2000. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT. Rofido Utama.



[1] Tim Institut Manajemen Zakat, Panduan Zakat Praktis, (Jakarta: Institut Manajemen Zakat), 2002
[2]  DR. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Si, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press), 2002, hal. 2
[3] Institut Manajemen Zakat, Panduan Zakat Praktis, Op. Cit., hal. 37

[4] Drs. H. Hasan Rifai Al-Faridy, Panduan Zakat Praktis, (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika), 2004, hal. 8
[5] Ibid., hal. 56
[6] Dompet Sosial Peduli Umat, Risalah Zakat, (Jakarta: DSPU), hal 9-10


[7] H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. ke-4, 2003, hal. 2
[8] Ibid.
[9] Achmad Tjahjono, Op. Cit., hal. 7
[10] M Fakhri Husein, Achmad Tjahjono, Op. Cit., hal 7
[11] R. Soeroso Bidihardjo, SH, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: PT. Rofido Utama, 2000), cet. ke-4, hal. 74
[12] Ibid., hal. 88
[13] Achmad, Op. Cit., h. 10
[14] Ibid.
[15] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, edisi terjemah (Bogor: Litera Antar Nusa, 1997). hlm. 1095
[16] Qs. Al-Nisa’ 4:59 (Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati rasul  (Nya), dan ulil amrri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar  beriman: kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
[17] Ibid, hlm. 999
[18] Syekhul Hadi Permono, Ppendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995). hlm. 84
[19] Masdar F Masudi, Agama Keadilan Risalah Zakat (pajak) dalam islam ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991). hlm. 37
[20] Qs. Al- Anbiya, 72-73 ( 72 . dan kami telah memberikan kepadanya (ibrahim ) Ishakdan Ya’kub, sebagai suatu anugrah (dari pada kami). Dan masing-masing kami jadikan orang-orang saleh).(73. kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan telah kami wahyukan kepada, maka mengerjakan kebijakan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah).
[21] Qs. Maryam, 30-31. ( 30. Berkata Isa: “ Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberikan al- Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi). (31.dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan(menunaikan) zakat selama aku hidup)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar