BAB
1
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Gadai
Pengertian hukum
gadai dalam fiqh Islam disebut ar-rahn.
Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai
tanggungan utang.[1]
Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab
adalah ats-tsubut wa ad-dawam,[2]
yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahn, yang berarti air yang tenang.[3]
Hal itu,berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38.
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud,
merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini
merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa ar-rahn berarti ‘menjadikan sesuatu
barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.[4]
Pengertian
gadai (rahn) secara bahasa seperti
diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera
sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat di ambil
kembali sejumlah harta yang di maksudkan sesudah di tebus. Namun, pengertian
gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
adalah suatu hak yang diperoleh
seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak
tersebut diserahkan kepada orang yang
berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang yang lain atas nama orang
yang mempunyai utang.
Selain
pengertian gadai (rahn) yang
dikemukakan diatas, penulis mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli
hokum Islam sebagai berikut.
a. Ulama
Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut.
“Manjadikan
suatu barang yang bias dijual sebagai
jamnan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar
utangnya.”[5]
b. Ulama
Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut.
“Suatu
benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang , untuk dipenuhi dari harganya,
bila yang berutang tidak sanggup
membayar utangnya.”[6]
c. Ulama
Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut.
“Sesuatu
yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan
pengikat atas utang yang tetap(mengikat).”[7]
d. Ahmad
Azhar Basyir
Rahn perjanjian
menahan sesuatu barang sebagi tanggungan utang, atau menjadikan sesuattu benda
bernilai menurut pandangan syara’
sebagai tanggungan marhun bih, sehingga
dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[8]
e. Muhammad
Syafi’I Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta
milik nasabah (rahin) sebagai barang
jaminan (marhun)atas uatang /
pinjaman (marhun bih) yang
diterimanya. Marhun tersebut memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau menerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.[9]
Berdasarkan pengertian
gadai yang dikemukakan oleh para ahli hokum Islam di atas, penulis berpendapat
bahwa gadai (rahn) adalah menahan
barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai
ekonomis, sehingga pihak yang menerima (murtahin)
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari
barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang
pada waktu yang telah ditentukan.
B.
Dasar
Hukum Gadai Syariah
Dasar yang menjadi landasan gadai
syariah adalah ayat – ayat Al-quran, hadis Nabi Muhammad saw.,ijma’ ulama, dan fatwa MUI. Hal
dimaksud, diungkapkan sebagai berikut.
1. Al-Qur’an
QS.
Al-Baqarah (2) ayat 282 dan 283 yang digunakan sebagai dasar dalam membangun
konsep gadai.
QS. Al-Baqarah
ayat 282
“Hai
orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…”
QS. Al-Baqarah
ayat 283
“Jika
kamu dalam perjalanan sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)…”
2. As-Sunnah
Dari
Abu Hurairah r.a Nabi SAW bersabda: “Tidak
terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia
memperoleh manfaat dan menanggung risikonya.” (HR Asy’Syafii, al Darquthni
dan Ibnu Majah).
3. Ijtihad
Berkaitan
dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan
mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Hal dimaksud,
berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw. yang menggadaikan baju besinya untuk
mandapatkan makanan dari seorang Yahudi.
4. Fatwa
Dewan Syariah Nasional
Fatwa
Dewan Syariah Nasional Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan
yang berkenaan gadai syariah, di antaranya dikemukakan sebagai berikut.
a. Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSN-MUI/III/2002, tentang
Rahn;
b. Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang
Rahn Emas;
c. Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Ijarah;
d. Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah;
e. Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang
Ganti Rugi.
C.
Rukun
dan Syarat sahnya perjanjian
Mohammad Anwar dalam buku Fiqh Islam (1988: 56) menyebutkan rukun
dan syarat sahnya perjanjian gadai adalah sebagai berikut:
1. Ijab
qabul (shighot)
Hal ini dapat
dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja didalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak.
2. Orang
yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi
gadai) dan mutthahin (penerima gadai) adalah:
a. Telah
dewasa;
b. Berakal;
c. Atas
keinginan sendiri.
3. Adanya
barang yang digadai (Marhun)
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah:
a. Dapat
diserah terimakan;
b. Bermanfaat;
c. Milik
rahin (orang yang menggadaikan);
d. Jelas;
e. Tidak
bersatu dengan harta lain;
f. Dikuasai
oleh rahin;
g. Harta
yang tetap atau dapat dipindahkan.
4. Marhun bih (utang)
Menurut ulama
Hanafiyah dan Sanafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah:
a. Berupa
utang yang tetap dapat dimanfaatkan;
b. Utang
harus lazim pada waktu akad;
c. Utang
harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
D.
Hak
dan kewajiban penerima dan pemberi gadai
1. Hak
dan kewajiban penerima gadai
Hak penerima
gadai :
a. Penerima
gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya
pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan harta benda gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan
kepada rahin.
b. Penerima
gadai berhak mendapat penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk manjaga
keselamatan harta benda gadai (marhun).
c. Selama
pinjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai berhak menahan harta benda
gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
Berdasarkan
hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu
sebagai berikut:
a. Penerima
gadai bertanggung jawab atas hilang atau
merosotnya harta benda gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
b. Penerima
gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya.
c. Penerima
gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan
harta benda gadai.
2. Hak
dan kewajiban pemberi gadai (Rahin)
Hak pemberi
gadai:
a. Pemberi
gadai berhak mendapat pengembalian harta benda yang digadaikan sesudah ia
melunasi pinjaman utangnya.
b. Pemberi
gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan dan/atau hilangnya harta benda
yang digadaikan, bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
c. Pemberi
gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan
biaya-biaya lainnya.
d. Pemberi
gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila penerima gadai diketahui
menyalahgunakan harta benda gadainya.
Berdasarkan
hak-hak pemberi gadai diatas maka muncul
kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Pemberi
gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang
waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima
gadai.
b. Pemberi
gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda gadainya, bila dalam jangka
waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi utang pinjamannya.
E.
Pemanfaatan
dan Penjualan barang gadai
1. Pemanfaatan
rahin atas borg (barang yang
digadaikan)
a. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin
murthahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkan tanpa seizing rahin.
Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah.
b. Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murthahin, rahin
mempunyai hal memanfaatkan (Sayyid Sabiq, 1987: 141).
c. Ulama
Safi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika
tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu minta izin, seperti
mengendarainya, menempatinya dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang
berkurang, seperti sawah, kebun, rahn harus
meminta izin pada muthahin.
2. Pemanfaatan
murthahin atas borg
a. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa murthahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab dia
hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.
b. Ulama
Malikiyah membolehkan muthahin memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin atau
disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan
serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hamper senada dengan
pendapat ulama safi’iyah.
c. Pendapat
ulama Hanabiyah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat, jika borg berupa hewan,
murthahin boleh memanfaatkannya seperti mengendarai atau mengambil susunya
sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain
hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.
F.
Struktur
organisasi pegadaian syariah
Dalam struktur perum
pegadaian, unit layanan syariah dikepalai oleh General Manager Syariah dibawah
Direktur Operasional Perum Pegadaian. Dalam pengelolaan pegadaian Syariah,
Perum Pegadaian memisahkan antara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional,
baik mengenai laporan keuangan, kebijakan pengelolaan dan kegiatan
operasonalnya. Saat ini di Indonesia sudah ada 25 cabang kantor pegadaian
syariah.
Dalam
menjalankan usaha gadai syariah, pegadaian syariah berpedoman pada fatwa dari
dewan Syariah Nasional (DSN), yang merupakan badan pengawas lembaga keuangan
syariah bank dan non bank yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tidak berbeda dengan bank yang menyelenggarakan
Unit Usaha Syariah (UUS), dalam di Kantor Pusat Perum Pegadaian ada
Dewan Pengawas Syariat (DPS). Fungsi dari DPS adalah sebagai berikut:
a. Mengawasi
jalannya operasionalisasi pegadaian sehari-hari, agar sesuai dengan ketentuan
syari’at.
b. Membuat
pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya
telah berjalan sesuai dengan ketentuan syari’ah.
c.
Meneliti dan membuat
rekomendasi produk baru berdasarkan fatwa dari DSN.
Dewan Syari’ah Nasional
(DSN) dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya
Reksadana Syari’ah pada bulan Juli pada tahun yang sama. Lembaga ini merupakan
lembaga otonom dibawah MUI dan di pimpin oleh Ketua Umum MUI dan sekretaris (ex officio). Fungsi DSN adalah sebagai
berikut:
a.
Mengawasi produk-produk
lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah;
b. Meneliti
dan member fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan
syariah;
c.
Memberi rekomendasi
para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu
lembaga keuangan syariah; dan
d. Memberi
teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan
menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan (Sudarsono, 2003: 35).
Fatwa
DSN yang terkait langsung dengan jasa layanan pegadaian syariah adalah fatwa
DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai (rahn)
dan fatwa DSN No. 2625/DSN-MUI/III/2002 tentang emas. Oleh karena itu saat
ini Pegadaian syariah hanya melayani
satu jenis akad, yaitu Ijarah (jasa
penyewaan tempat untuk penitipan barang). Mengenai fidusia dan hak jaminan atas
tanah belum dilakukan oleh pegadaian
karena belum ada fatwa dari DSN tentang itu.
G.
Tujuan
pendirian pegadaian syariah
Pada
saat pendirian pegadaian syariah oleh bank Muamalat Indonesia dan Perum
pegadaian melalui perjanjian musyarakah ditetapkan visi dan misi dari pegadaian
syariah yang akan didirikan, yang keduannya mensiratkan tujuan didirikannnya
pegadaian syariah. Visi pegadaian syariah adalah lenjadi lembaga keuangan
syariah terkemuka di Indonesia. Sedangkan misinya ada 3:
a. Memberikan
kemudahan kepada masyarakat yang ingin melaksanakan transaksi yang halal.
b. Memberikan
superior return bagi investor.
c. Memberikan
ketenangan kerja bagi karyawan.
Jadi
tujuan pendirian pegadaian syariah meliputi seluruh stake holder yang berkaitan dengan usaha layanan pegadaian yaitu
masyarakat, investor, dan karyawan.
H.
Perbedaan
pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional
Pegadaian
syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan.
Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan seperti yang
sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional, yaitu memberlakukan biaya
pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang,
bukan dari jumlah pinjaman. Sedangakan pada pegadaian konvesional, biaya yang
harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan.
Berikut
disajikan tabel perbedaan teknis antara pegadaian syariah dan pegadaian
konvensional :
NO.
|
PEGADAIAN SYARIAH
|
PEGADAIAN
KONVENSIONAL
|
1.
|
Biaya
administrasi menurut ketetapan berdasarkan golongan barang
|
Biaya
administrasi menurut prosentase berdasarkan golongan barang
|
2.
|
Jasa
simpanan berdasarkan taksiran
|
Sewa
modal berdasarkan pinjaman
|
3.
|
Bila
lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dijual kepada masyarakat
|
Bila
lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dilelang kepada masyarakat
|
4.
|
Uang
pinjaman 90% dari taksiran
|
Uang
pinjaman gol A: 90% dari taksiran, golongan B, C, dan D: 86-88% dari taksiran
|
5.
|
Jasa
simpanan dihitung dengan konstanta X taksiran
|
Sewa
modal dihitung berdasarkan prosentase X uang pinjaman
|
6.
|
Maksimal
jangka waktu 4 bulan
|
Maksimal
jangka waktu 3 bulan
|
7.
|
Uang
kelebihan = hasil penjualan – (uang pinjaman + jasa penitipan + biaya
penjualan)
|
Uang
kelebihan = hasil lelang – (uang pinjaman + sewa modal + biaya lelang)
|
8.
|
Bila
uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil diserahkan kepada lembaga ZIS
|
Bila
uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil menjadi milik pegadaian
|
I.
Operasional
pegadaian syariah
Implementasi
operasional pegadaian syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional.
Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang
pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai
syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan
barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang
tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi
pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga
singkat. Namun disamping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau
dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan, pegadaian syariah
memiliki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian
konvensionsal.
Pegadaian
syariah atau dikenal dengan rahn,
dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee
Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi
hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhum
bih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi,
membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya.
Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (Tim Indonesia School of Life, 2003).
Sesuai
dengan landasan konsep rahn, pada
dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah yaitu:
a. Akad Rahn. Rahn
yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian
menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
b. akad Ijarah, yaitu
akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri.
Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas
penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakuakan akad (Nugrahaa,
2004).
Adapun
teknis pelayanan dalam pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
a. Nasabah
menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan.
Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam
memberikan pembiayaan.
b. Pegadaian
syariah dan nasabah menyepakati akad gadai. Akad ini meliputi jumlah pinjaman,
pembebanan biaya Jasa Simpan dan biaya Administrasi, dan jatuh tempo
pengembalin pinjaman, yaitu 120 hari (4 bulan).
c. Pegadaian
syariah menerima biaya Administrasi dan biaya Jasa Simpan oleh nasabah.
d. Nasabah
menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo. Apabila pada saat jatuh
tempo nasabah belum dapat mengembalika
uang pinjaman, dapat diperpanjang 1(satu) kali masa jatuh tempo,
demikian seterusnya.
e. Apabila
nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan tidak memperpanjang akad
gadai, selanjutnya pegadaian melakukan kegiatan pelelangan untuk menjual barang
tersebut dan mengambil pelunasan uang pinjaman oleh nasabah dari hasil
penjualan barang gadai.





|





|

Operasi pegadaian
syariah menggambarkan hubungan diantara nasabah dan pegadaian. Implementasi
dari prinsip syariah yang dilakukan oleh operasional lembaga pegadaian syariah,
dapat kita simpulkan sebagai berikut:
a. Pegadaian
syariah hanya melakukan dua jenis akad, yaitu Rahn (menahan barang jaminan) dan Ijarah (jasa simpan barang), dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pegadaian
syariah memperoleh pendapatan dari jasa atas penyimpanan marhun.
2. Tarif
dihitung berdasarkan volume dan nilai marhun.
3. Tarif
tidak dikaitkan dengan besarnya uang pinjaman.
4. Dipungut
dibelakang pada saat rahin melunasi hutangnya.
b. Barang
yang dapat digadaikan di pegadaian syariah hanya berupa:
1. Barang-barang
perhiasan(emas) dan berlian.
2. Kendaraan
bermotor, seperti mobil dan sepeda motor.
3. Barang
elektronik, seperti televise, radio tape, mesin cuci, kulkas, dan lain-lain.
c. Pelunasan
pinjaman, dilakukan dengan cara:
1. Rahin
membayar pokok pinjaman dan jasa simpan sesuai dengan tarif yang telah
ditetapkan.
2. Manjual
marhun apabila rahin tidak tidak memenuhi kawajibannya pada tanggal jatuh
tempo.
d. Penjualan
marhun
1. Penjualan
marhun adalah upaya pengembalian marhun-bih
(uang pinjaman) beserta jasa simpan yang tidak dilunasi sampai batas waktu
yang ditentukan.
2. Pemberitahuan.
Dilakukan paling lambat 5 hari sebelum tanggal penjualan melalui mekanisme:
surat pemberitahuan ke alamat nasabah, telepon, dan/atau diumumkan dipapan
pengumuman kantor cabang, informasi dikantor kelurahan/kecamatan.
Dari landasan syariah
tersebut maka mekanisme operasional pegadaian syariah dapat digambarkan sebgaai
berikut: melalui akad rahn, nasabah
menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya
ditempat yang telah disediakan oleh pegadaian. Akibat yang timbul dari poses
penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai keseluruhan proses
kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa
kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian syariah akan
memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan
berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga
di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’
yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya dipegadaian.
Adapun ketentuan atau
persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi:
a.
Akad.
Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil
seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa
batas.
b.
Marhun bih (pinjaman).
Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa
dilunasi dengan barang yang dirahnkan
tersebut. Serta, pinjamn itu jelas dan tertentu.
c.
Marhun
(barang yang dirahnkan). Marhun bisa
dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,
milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bias
diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
d.
Jumlah maksimal dana rahn dan nilai likuidasi barang yang
dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
e.
Rahin dibebani jasa manajemen
atas barang berupa berupa: biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanan,
dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh
layanan dari pegadaian syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta
geraknya (emas, berlian, kendaraan dan lain-lain) untuk dititipkan disertai
dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf penaksir akan menentukan nilai
taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan
perhitungan pengenaan sewa simpang (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang
dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan
harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman
yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan
ini, pegadaian syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan:
a. Jangka
waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum 4 bulan.
b. Nasabah
bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp.90- dari kelipatan taksiran Rp.10.000-
per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunas pinjaman.
c. Membayar
biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh pegadaian pada saat pencairan
uang pinjaman.
Nasabah dalam
hal ini diberikan kelonggaran untuk:
a. Melakukan
penebusan barang atau pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat
bulan.
b. Mengangsur
uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan
ditambah bea administrasi.
c. atau
hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo
nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah
sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka
pegadaian syariah melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih
antara nlai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan
uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu
tahun untuk mengambil uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata
nasabah tidak mengambil uang tersebut, pegadaian syariah akan menyerahkan uang
kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
J.
Implementasi
gadai (rahn) dalam praktek
Dewan redaksi dari
Ensiklopedia Hukum Islam (1997) berpendapat bahwa rahn yang dikemukakan oleh
ulama fiqh klasik tersebut hanya ber sifat pribadi (syahdeni, tanpa tahun:8). Artinya
utang piutang hanya terjadi antara seorang pribadi yang membutuhkan dan seorang yang memiliki kelebihan harta, di
zaman sekarang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, rahn tidak
hanya berlaku antar pribadi dan lembaga keuangan seperti bank.
Untuk mendapatkan
kredit dari lembaga keuangan pihak bank juga menunut barang agunan yang
dipegang bank sebagai jaminan atas
kredit tersebut. Barang agunan ini demikian lebih lanjut dikemukakan oleh dewan
redaksi Ensiklopedi Hukum Islam,( 1997) dalam istilah bank disebut collateral.
Collateral ini sejalan dengan marhun yang berlaku dalam akad rahn yang
dibicarakan ulama klasik.
Perbedaannya hanya
terletak pada pembayaran hutang yang ditentukan oleh bank. Kredit di bank biasanya
harus dibayar sekaligus dengan bunga
uang yang ditentukan oleh bank. Oleh sebab itu jumlah uang yang di bayar
debitur akan lebih besar yang dipinjam dari bank.Menurut Antonio (2001) kontrak
rahn dalam perbankan digunakan sebagai:
1. Produk
perlengkapan
Artinya rahn
digunakan sebagai akad tambaan (jaminan/collateral) terhadap produk lain
seperti pembiayaan ba’I almurabahah dimana bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi
akad tersebut .
2. Produk
tersendiri
Akad rahn telah
dipakai sebagai alternatif dari pegadian konvesional. Bedanya dengan gadai
biasa, dlam rahn nasabah tidak dikenakan bunga tetapi yang dipungut dati
nasabah adalah biaya penitipan,pemeliharaan,penjagaan serta biaya penaksiran
yang dipungut dan ditetapkan diawal perjanjian.sedangkan dalam perjanjian gadai
biasa, nasabah dibebankan oleh bunga pinjaman yang dapat terakumulasi dan
berlipat ganda.
Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah. Akad perjanjian yang dapat
dilakukan antara lain :
1. Akad
Al-qardhul hasan
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang
menggadikan barangnya untuk keperluan konsumtif.Dengan demikian , nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee
kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian
(mahrum)
2. Akad
al-mudharabah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang
menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha ( pembiayaan investasi dan
modal kerja ). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil ( berdasarkan
keuntungan ) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang
dipinjam terlunasi.
3. Akad
ba-I al muqayyadah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang
menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha berupa pembelian barang
modal. Dengan demikian murtahin akan membelikan barang yang di maksud oleh
rahin (sudarsono, 2003:164)
Dengan memahami konsep
lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sudah
operasional. Setiap orang bisa melalukan perjanjian hutang piutang dengan gadai
secara syariah. Pada dasarnya konsep hutang piutang secara syariah dilakukan
dalam bentuk al- qardhul hassan, dimana pada bentuk ini tujuan utamanya adalah
memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial. Gadai yang melengkapi
perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran sebagaimana
disebut dalam Al- quran surat Al- baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan biaya
apapun diatas pokok tunjangan bagi si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri
untuk sahnya suatu perjanjian hutang. Dalam hal ini biaya-biaya seperti materi
dan akte notaris menjadi beban peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun
dengan nama apapun tidak sesuai dengan prinsip syariah, oleh karena itu kita
boleh dikenakan dalam perjajian hutang piutang secara syariah. Perjanjian
hutang piutang dalam bentuk alqardhul Hassan sangat di anjurkan dalam islam
lebih utama dari pada memberikan infaq.
Hal ini, menurut Khan
(1996: 182-183), karena infaq menimbulkan masalah kehormatan diri pada peminjam
dan mengurangi dorongan dirinya untuk berjuang dan berusaha. Infaq katanya
diperlakukan dalam kasus-kasus diamana pengembalian hutang tidak mungkin
dilakukan. Dengan demikian al-qardhul Hassan adalah lembaga bersaudara dengan
infaq. Tanggung jawab ini beralih kepada satuan keluarga, RT/RW, kelurahan,
bahkan sampai kepada Negara.
Perjanjian hutang
piutang juga diperlukan bagi keperluan komersiil. Dalam hal perjanjian hutang
piutang ini untuk keperluan komersiil, maka biasanya perlengkapan gadai yang
cukup menjadi persyaratan yang tidak dapat ditinggalkan. Ini membuktikan bahwa
sebenarnya pihak peminjam bukanlah orang yangn miskin tetapi orang yang
memiliki sejumlah harta yang dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk
kepentingan ini adalah melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam
bentuk al-qardha Hassan atau melakukan perjanjian bhutang piutang dengan gadai
dalam bentuk mudharabah.
Daftar
Pustaka
Ghofur Ansori,
Abdul. 2006. Gadai Syariah Di Indonesia, Yogyakarta:Gajah Mada University
Press.
Rais, Sasli.
2006. Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional(suatu kajian
kontemporer), Jakarta:UI Press.
Ali, Zainuddin.
2008. Hukum Gadai Syariah, Jakarta: Sinar Grafika.
Pasaribu,
Chairuman dan K. Lubis, Suhrawardi. 1996. Hukum Perjanjian Dalam Islam,
Jakarta: Sinar Grafika.
[1] Rahmat Syafei,”Konsep Gadai;Ar-Rahn
dalam Fikih Islam antara Nilai Sosial
dan Nilai Komersial” dalam Huzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, (Jakarta: Lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan,1995),cet. II, hlm. 59.
[2] Abi Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi,Mughny Muhtaj, (Mesir: Musthafa Babi Al-Halabi, 1957), jilid 2,hlm.
121. Lihat juga,Abdurrahman A-Jaziri, Al-Fiqh
‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1996), jiliid 2,
hlm.249.
[3] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam
wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr,2002), jilid 4, hlm. 4204.
[5] Lihat, ibid., hlm 188.
[6] Abi Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ibnu Qudamah, Al-Mughny ‘ala Mukhtashar Al-Kharqiy,
(Beirut: Ad-Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994), jilid 4, hlm.234.
[7] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh
Al-Islam, op.cit., 4208.
[8] Ahmad Azhar Basyir, Hukum
Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, (Bandung: Al-Maarif, 1983), hlm.
50.
[9] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.
128.
ijin minta copas :)
BalasHapusterimakasih..
ijin minta copas :)
BalasHapusterimakasih..