hamster

3 Mar 2013

makalah implementasi gadai syariah


BAB 1
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Gadai
Pengertian hukum gadai dalam fiqh Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.[1] Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam,[2] yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahn, yang berarti air yang tenang.[3] Hal itu,berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38.
      Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa ar-rahn berarti ‘menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.[4]
      Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan  dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat di ambil kembali sejumlah harta yang di maksudkan sesudah di tebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh  seseorang yang mempunyai piutang atas suatu  barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut  diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang yang lain atas nama orang yang mempunyai utang.
      Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan diatas, penulis mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hokum Islam sebagai berikut.
a.       Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut.
“Manjadikan suatu barang yang bias dijual  sebagai jamnan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.”[5]
b.      Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut.
“Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang , untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang  tidak sanggup membayar utangnya.”[6]
c.       Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut.
“Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap(mengikat).”[7]
d.      Ahmad Azhar Basyir
Rahn perjanjian menahan sesuatu barang sebagi tanggungan utang, atau menjadikan sesuattu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[8]
e.       Muhammad Syafi’I Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun)atas uatang / pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau menerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.[9]
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hokum Islam di atas, penulis berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas  pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menerima (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.
B.     Dasar Hukum Gadai Syariah
Dasar yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat – ayat Al-quran, hadis Nabi Muhammad saw.,ijma’ ulama, dan fatwa MUI. Hal dimaksud, diungkapkan sebagai berikut.
1.      Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah (2) ayat 282 dan 283 yang digunakan sebagai dasar dalam membangun konsep gadai.
QS. Al-Baqarah ayat 282
“Hai orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…”
QS. Al-Baqarah ayat 283
“Jika kamu dalam perjalanan sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)…” 
2.      As-Sunnah
Dari Abu Hurairah r.a Nabi SAW bersabda: “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya.” (HR Asy’Syafii, al Darquthni dan Ibnu Majah).
3.      Ijtihad
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw. yang menggadaikan baju besinya untuk mandapatkan makanan dari seorang Yahudi.
4.      Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan Syariah Nasional Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, di antaranya dikemukakan sebagai berikut.
a.       Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn;
b.      Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
c.       Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah;
d.      Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah;
e.       Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi.
C.    Rukun dan Syarat sahnya perjanjian
Mohammad Anwar dalam buku Fiqh Islam (1988: 56) menyebutkan rukun dan syarat sahnya perjanjian gadai adalah sebagai berikut:
1.      Ijab qabul (shighot)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak.
2.      Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan mutthahin (penerima gadai) adalah:
a.       Telah dewasa;
b.      Berakal;
c.       Atas keinginan sendiri.
3.      Adanya barang yang digadai (Marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah:
a.       Dapat diserah terimakan;
b.      Bermanfaat;
c.       Milik rahin (orang yang menggadaikan);
d.      Jelas;
e.       Tidak bersatu dengan harta lain;
f.       Dikuasai oleh rahin;
g.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
4.      Marhun bih (utang)
Menurut ulama Hanafiyah dan Sanafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah:
a.       Berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan;
b.      Utang harus lazim pada waktu akad;
c.       Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
D.    Hak dan kewajiban penerima dan pemberi gadai
1.      Hak dan kewajiban penerima gadai
Hak penerima gadai :
a.       Penerima gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan harta benda gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
b.      Penerima gadai berhak mendapat penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk manjaga keselamatan harta benda gadai (marhun).
c.       Selama pinjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai berhak menahan harta benda gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
Berdasarkan hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
a.       Penerima gadai bertanggung jawab  atas hilang atau merosotnya harta benda gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
b.      Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya.
c.       Penerima gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan harta benda gadai.
2.      Hak dan kewajiban pemberi gadai (Rahin)
Hak pemberi gadai:
a.       Pemberi gadai berhak mendapat pengembalian harta benda yang digadaikan sesudah ia melunasi pinjaman utangnya.
b.      Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan dan/atau hilangnya harta benda yang digadaikan, bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
c.       Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda  gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
d.      Pemberi gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila penerima gadai diketahui menyalahgunakan harta benda gadainya.
Berdasarkan hak-hak pemberi gadai diatas  maka muncul kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu:
a.       Pemberi gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
b.      Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda gadainya, bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi utang pinjamannya.
E.     Pemanfaatan dan Penjualan barang gadai
1.      Pemanfaatan rahin atas borg (barang yang digadaikan)
a.       Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murthahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkan tanpa seizing rahin. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah.
b.      Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murthahin, rahin mempunyai hal memanfaatkan (Sayyid Sabiq, 1987: 141).
c.       Ulama Safi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu minta izin, seperti mengendarainya, menempatinya dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang, seperti sawah, kebun, rahn harus meminta izin pada muthahin.
2.      Pemanfaatan murthahin atas borg
a.       Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murthahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.
b.      Ulama Malikiyah membolehkan muthahin memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hamper senada dengan pendapat ulama safi’iyah.
c.       Pendapat ulama Hanabiyah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat, jika borg berupa hewan, murthahin boleh memanfaatkannya seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.
F.     Struktur organisasi pegadaian syariah
Dalam struktur perum pegadaian, unit layanan syariah dikepalai oleh General Manager Syariah dibawah Direktur Operasional Perum Pegadaian. Dalam pengelolaan pegadaian Syariah, Perum Pegadaian memisahkan antara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional, baik mengenai laporan keuangan, kebijakan pengelolaan dan kegiatan operasonalnya. Saat ini di Indonesia sudah ada 25 cabang kantor pegadaian syariah.
      Dalam menjalankan usaha gadai syariah, pegadaian syariah berpedoman pada fatwa dari dewan Syariah Nasional (DSN), yang merupakan badan pengawas lembaga keuangan syariah bank dan non bank yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tidak berbeda dengan bank yang menyelenggarakan  Unit Usaha Syariah (UUS), dalam di Kantor Pusat Perum Pegadaian ada Dewan Pengawas Syariat (DPS). Fungsi dari DPS adalah sebagai berikut:
a.       Mengawasi jalannya operasionalisasi pegadaian sehari-hari, agar sesuai dengan ketentuan syari’at.
b.      Membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syari’ah.
c.       Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru berdasarkan fatwa dari DSN.
Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syari’ah pada bulan Juli pada tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom dibawah MUI dan di pimpin oleh Ketua Umum MUI dan sekretaris (ex officio). Fungsi DSN adalah sebagai berikut:
a.       Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah;
b.      Meneliti dan member fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah;
c.       Memberi rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah; dan
d.      Memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan (Sudarsono, 2003: 35).
Fatwa DSN yang terkait langsung dengan jasa layanan pegadaian syariah adalah fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai (rahn) dan fatwa DSN No. 2625/DSN-MUI/III/2002 tentang emas. Oleh karena itu saat ini Pegadaian syariah  hanya melayani satu jenis akad, yaitu Ijarah (jasa penyewaan tempat untuk penitipan barang). Mengenai fidusia dan hak jaminan atas tanah belum dilakukan  oleh pegadaian karena belum ada fatwa dari DSN tentang itu.
G.    Tujuan pendirian pegadaian syariah
Pada saat pendirian pegadaian syariah oleh bank Muamalat Indonesia dan Perum pegadaian melalui perjanjian musyarakah ditetapkan visi dan misi dari pegadaian syariah yang akan didirikan, yang keduannya mensiratkan tujuan didirikannnya pegadaian syariah. Visi pegadaian syariah adalah lenjadi lembaga keuangan syariah terkemuka di Indonesia. Sedangkan misinya ada 3:
a.       Memberikan kemudahan kepada masyarakat yang ingin melaksanakan transaksi yang halal.
b.      Memberikan superior return bagi investor.
c.       Memberikan ketenangan kerja bagi karyawan.
Jadi tujuan pendirian pegadaian syariah meliputi seluruh stake holder yang berkaitan dengan usaha layanan pegadaian yaitu masyarakat, investor, dan karyawan.
H.    Perbedaan pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional
Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan seperti yang sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional, yaitu memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Sedangakan pada pegadaian konvesional, biaya yang harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan.
Berikut disajikan tabel perbedaan teknis antara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional :
NO.
         PEGADAIAN SYARIAH
PEGADAIAN KONVENSIONAL
1.
Biaya administrasi menurut ketetapan berdasarkan golongan barang
Biaya administrasi menurut prosentase berdasarkan golongan barang
2.
Jasa simpanan berdasarkan taksiran
Sewa modal berdasarkan pinjaman
3.
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dijual kepada masyarakat
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dilelang kepada masyarakat
4.
Uang pinjaman 90% dari taksiran
Uang pinjaman gol A: 90% dari taksiran, golongan B, C, dan D: 86-88% dari taksiran
5.
Jasa simpanan dihitung dengan konstanta X taksiran
Sewa modal dihitung berdasarkan prosentase X uang pinjaman
6.
Maksimal jangka waktu 4 bulan
Maksimal jangka waktu 3 bulan
7.
Uang kelebihan = hasil penjualan – (uang pinjaman + jasa penitipan + biaya penjualan)
Uang kelebihan = hasil lelang – (uang pinjaman + sewa modal + biaya lelang)
8.
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil diserahkan kepada lembaga ZIS
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil menjadi milik pegadaian

I.       Operasional pegadaian syariah
Implementasi operasional pegadaian syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat. Namun disamping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensionsal.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhum bih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (Tim Indonesia School of Life, 2003).
Sesuai dengan landasan konsep rahn, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah yaitu:
a.       Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
b.      akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakuakan akad (Nugrahaa, 2004).
Adapun teknis pelayanan dalam pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
a.       Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
b.      Pegadaian syariah dan nasabah menyepakati akad gadai. Akad ini meliputi jumlah pinjaman, pembebanan biaya Jasa Simpan dan biaya Administrasi, dan jatuh tempo pengembalin pinjaman, yaitu 120 hari (4 bulan).
c.       Pegadaian syariah menerima biaya Administrasi dan biaya Jasa Simpan oleh nasabah.
d.      Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo. Apabila pada saat jatuh tempo nasabah belum dapat mengembalika  uang pinjaman, dapat diperpanjang 1(satu) kali masa jatuh tempo, demikian seterusnya.
e.       Apabila nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan tidak memperpanjang akad gadai, selanjutnya pegadaian melakukan kegiatan pelelangan untuk menjual barang tersebut dan mengambil pelunasan uang pinjaman oleh nasabah dari hasil penjualan barang gadai.
Flowchart: Punched Tape: Marhun Bih (pembiayaan)Teknis operasional dalam lembaga pegadaian syariah dapat diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut:
Bevel: Marhun (jaminan)Oval: PEGADAIANFlowchart: Alternate Process: NASABAH
Nasabah menyerahkan marhun
 
Left-Right Arrow: Akad
Pegadaian memberikan marhun bih
 
 











Operasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan diantara nasabah dan pegadaian. Implementasi dari prinsip syariah yang dilakukan oleh operasional lembaga pegadaian syariah, dapat kita simpulkan sebagai berikut:
a.       Pegadaian syariah hanya melakukan dua jenis akad, yaitu Rahn (menahan barang jaminan) dan Ijarah (jasa simpan barang), dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Pegadaian syariah memperoleh pendapatan dari jasa atas penyimpanan marhun.
2.      Tarif dihitung berdasarkan volume dan nilai marhun.
3.      Tarif tidak dikaitkan dengan besarnya uang pinjaman.
4.      Dipungut dibelakang pada saat rahin melunasi hutangnya.
b.      Barang yang dapat digadaikan di pegadaian syariah hanya berupa:
1.      Barang-barang perhiasan(emas) dan berlian.
2.      Kendaraan bermotor, seperti mobil dan sepeda motor.
3.      Barang elektronik, seperti televise, radio tape, mesin cuci, kulkas, dan lain-lain.
c.       Pelunasan pinjaman, dilakukan dengan cara:
1.      Rahin membayar pokok pinjaman dan jasa simpan sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan.
2.      Manjual marhun apabila rahin tidak tidak memenuhi kawajibannya pada tanggal jatuh tempo.
d.      Penjualan marhun
1.      Penjualan marhun adalah upaya pengembalian marhun-bih (uang pinjaman) beserta jasa simpan yang tidak dilunasi sampai batas waktu yang ditentukan.
2.      Pemberitahuan. Dilakukan paling lambat 5 hari sebelum tanggal penjualan melalui mekanisme: surat pemberitahuan ke alamat nasabah, telepon, dan/atau diumumkan dipapan pengumuman kantor cabang, informasi dikantor kelurahan/kecamatan.
Dari landasan syariah tersebut maka mekanisme operasional pegadaian syariah dapat digambarkan sebgaai berikut: melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya ditempat yang telah disediakan oleh pegadaian. Akibat yang timbul dari poses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya dipegadaian.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi:
a.      Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
b.       Marhun bih (pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjamn itu jelas dan tertentu.
c.       Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bias diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
d.      Jumlah maksimal dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
e.       Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa berupa: biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari pegadaian syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpang (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan ini, pegadaian syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan:
a.       Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum 4 bulan.
b.      Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp.90- dari kelipatan taksiran Rp.10.000- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunas pinjaman.
c.       Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk:
a.       Melakukan penebusan barang atau pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan.
b.      Mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi.
c.       atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka pegadaian syariah melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nlai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, pegadaian syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
J.      Implementasi gadai (rahn) dalam praktek
Dewan redaksi dari Ensiklopedia Hukum Islam (1997) berpendapat bahwa rahn yang dikemukakan oleh ulama fiqh klasik tersebut hanya ber sifat pribadi (syahdeni, tanpa tahun:8). Artinya utang piutang hanya terjadi antara seorang pribadi yang membutuhkan dan  seorang yang memiliki kelebihan harta, di zaman sekarang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, rahn tidak hanya berlaku antar pribadi dan lembaga keuangan seperti bank.

Untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan pihak bank juga menunut barang agunan yang dipegang bank  sebagai jaminan atas kredit tersebut. Barang agunan ini demikian lebih lanjut dikemukakan oleh dewan redaksi Ensiklopedi Hukum Islam,( 1997) dalam istilah bank disebut collateral. Collateral ini sejalan dengan marhun yang berlaku dalam akad rahn yang dibicarakan ulama klasik.
Perbedaannya hanya terletak pada pembayaran hutang yang ditentukan oleh bank. Kredit di bank biasanya harus dibayar sekaligus  dengan bunga uang yang ditentukan oleh bank. Oleh sebab itu jumlah uang yang di bayar debitur akan lebih besar yang dipinjam dari bank.Menurut Antonio (2001) kontrak rahn dalam perbankan digunakan sebagai:           
1.      Produk perlengkapan
Artinya rahn digunakan sebagai akad tambaan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti pembiayaan ba’I almurabahah dimana bank dapat  menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut .
2.      Produk tersendiri
Akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadian konvesional. Bedanya dengan gadai biasa, dlam rahn nasabah tidak dikenakan bunga tetapi yang dipungut dati nasabah adalah biaya penitipan,pemeliharaan,penjagaan serta biaya penaksiran yang dipungut dan ditetapkan diawal perjanjian.sedangkan dalam perjanjian gadai biasa, nasabah dibebankan oleh bunga pinjaman yang dapat terakumulasi dan berlipat ganda.
       Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah. Akad perjanjian yang dapat dilakukan antara lain :
1.      Akad Al-qardhul hasan
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadikan barangnya untuk keperluan konsumtif.Dengan demikian , nasabah  (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian (mahrum)
2.      Akad  al-mudharabah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha ( pembiayaan investasi dan modal kerja ). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil ( berdasarkan keuntungan ) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam terlunasi.
3.      Akad ba-I al muqayyadah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha berupa pembelian barang modal. Dengan demikian murtahin akan membelikan barang yang di maksud oleh rahin (sudarsono, 2003:164)
Dengan memahami konsep lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga gadai  syariah untuk hubungan antar pribadi sudah operasional. Setiap orang bisa melalukan perjanjian hutang piutang dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya konsep hutang piutang secara syariah dilakukan dalam bentuk al- qardhul hassan, dimana pada bentuk ini tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial. Gadai yang melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran sebagaimana disebut dalam Al- quran surat Al- baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan biaya apapun diatas pokok tunjangan bagi si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri untuk sahnya suatu perjanjian hutang. Dalam hal ini biaya-biaya seperti materi dan akte notaris menjadi beban peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dengan nama apapun tidak sesuai dengan prinsip syariah, oleh karena itu kita boleh dikenakan dalam perjajian hutang piutang secara syariah. Perjanjian hutang piutang dalam bentuk alqardhul Hassan sangat di anjurkan dalam islam lebih utama dari pada memberikan infaq.
Hal ini, menurut Khan (1996: 182-183), karena infaq menimbulkan masalah kehormatan diri pada peminjam dan mengurangi dorongan dirinya untuk berjuang dan berusaha. Infaq katanya diperlakukan dalam kasus-kasus diamana pengembalian hutang tidak mungkin dilakukan. Dengan demikian al-qardhul Hassan adalah lembaga bersaudara dengan infaq. Tanggung jawab ini beralih kepada satuan keluarga, RT/RW, kelurahan, bahkan sampai kepada Negara.
Perjanjian hutang piutang juga diperlukan bagi keperluan komersiil. Dalam hal perjanjian hutang piutang ini untuk keperluan komersiil, maka biasanya perlengkapan gadai yang cukup menjadi persyaratan yang tidak dapat ditinggalkan. Ini membuktikan bahwa sebenarnya pihak peminjam bukanlah orang yangn miskin tetapi orang yang memiliki sejumlah harta yang dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk kepentingan ini adalah melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardha Hassan atau melakukan perjanjian bhutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.     



Daftar Pustaka

Ghofur Ansori, Abdul. 2006. Gadai Syariah Di Indonesia, Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
Rais, Sasli. 2006. Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional(suatu kajian kontemporer), Jakarta:UI Press.
Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Gadai Syariah, Jakarta: Sinar Grafika.
Pasaribu, Chairuman dan K. Lubis, Suhrawardi. 1996. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika.


[1] Rahmat Syafei,”Konsep Gadai;Ar-Rahn dalam Fikih Islam antara Nilai Sosial dan Nilai Komersial” dalam Huzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan,1995),cet. II, hlm. 59.
[2] Abi Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi,Mughny Muhtaj, (Mesir: Musthafa Babi Al-Halabi, 1957), jilid 2,hlm. 121. Lihat juga,Abdurrahman A-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1996), jiliid 2, hlm.249.
[3] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr,2002), jilid 4, hlm. 4204.
[4][4] Ibid.
[5] Lihat, ibid., hlm 188.
[6] Abi Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ibnu Qudamah, Al-Mughny ‘ala Mukhtashar Al-Kharqiy, (Beirut: Ad-Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994), jilid 4, hlm.234.
[7] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam, op.cit., 4208.
[8] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, (Bandung: Al-Maarif, 1983), hlm. 50.
[9] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 128.

2 komentar: