hamster

4 Mar 2013

Al Qur'an dan As Sunnah sebagai sumber hukum


BAB I

PENDAHULUAN
           
Kata sumber hukum islam hanya di gunakan oleh sebagian penulis kontemporer dalam hukum islam, sebagai ganti dari istilah al-adillah al- syar’iyyah (dalil-dalil syara’), sedangkan sebagian lagi tetap menggunakan istilah al-adillah al-syar’iyyah. Dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh klasik hanya di gunakan istilah al-adillah al-syar’iyyah, tidak ditemukan istilah mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum). Bagi yang menggunakan kata al-adillah tentu beranggapan bahwa kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama.
Al-qur’an dan hadist adalah sumber hukum ajaran islam yang harus dijalankan setiap pemeluk agama islam itu sendiri. Al qur’an bersifat universal dan mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang terdapat dalam kitab-kitab Allah yang lain. Di samping itu Al qur’an juga mencakup ilmu pengetahuan pada umumnya. Sedangkan As Sunnah dapat dijadikan sebagai referen dalam memahami maksud-maksud Al qur’an.
















BAB II

AL Quran dan Sunnah Sebagai Sumber Hukum

  1. Definisi dalil Syara’ dan Sumber Hukum

Secara bahasa dalil adalah “yang menunjukan terhadap sesuatu”. Dalil bisa diartikan pula sebagai ما فيه دلالة وإرشاد artinya perkara yang di dalamnya terdapat petunjuk. Ulama ushul fiqh mendefinisikan dalil dengan istilah

الذي يمكن ان يتوصّل بصحيح النظر فيه الى العلم بمطلوب خبري

artinya sesuatu yang dengan penelaahan yang shahih bisa mengantarkan kepada pengetahuan terhadap mathlub khobari (hukum suatu perkara yang sedang dicari status hukumnya).
Definsi sumber hukum adalah tempat atau bahan yang menjadi rujukan dalam mengetahui sesuatu prinsip atau hukum syara’ termasuk perniagaan Islam.

  1. Sumber Hukum

Dalil yang pertama Al Qur’an

  1. Al Khawasnah ( keistimewaan) Al-quran

            Al qur’an menurut ulama ushul fiqh ialah himpunan firman atau kata-kata Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. melalui perantaraan malaikat Jibril A.S. dengan bahasa arab serta dianggap ibadah bagi yang membacanya . Agar supaya menjadi hujah bagi Rosulullah Saw bahwa dia adalah seorang utusan  Allah Swt. Menjadi undang-undang dasar bagi orang-orang yang mendapat petunjuk dengan petunjuk Allah.
            Al qur’an itu ditulis, di bukukan, dimulai dengan surat Al fatihah dan ditutup dengan Surat An-Nass sampai kepada kita ditulis dengan jelas diucapkan berpindah dari generasi ke generasi berikutnya, tidak pernah berubah dan bertukar letak.
Di antara keistimewaan ini maka bercabanglah hal, sebagai berikut :
  • Apa yang di ilhamkan oleh  Allah kepada rosul itu berapa makna-makna bukan di turunkan berbentuk lafadz-lafadznya.
  • Menafsirkan surat atau ayat dengan lafadz bahasa arab, sebab lafadz-lafadznya itu ada yang muradif (sinonim)
  • Terjemah surat atau ayat dengan bahasa asing (yang bukan bahasa arab) tidak di anggap sebagai al qur’an meskipun pengalihan bahasa itu benar-benar terpelihara ketelitiannya.

  1. Kehujjahan Al-qur’an.

            Dalil bahwa Al-qur’an adalah hujjah atas umat manusia dan hukum-hukumnya  merupakan undang-undang  yang  wajib mereka ikuti,adalah Al-qur’an di sisi Allah dan di sampingkan mereka melalui cara yang pasti (qath’i) tidak ada keraguan mengenai kebenarannya. Sedangkan bukti bahwa Al-qur’an itu dari sisi Allah adalah kemukjizatannya dalam melemahkan umat manusia untuk mendatangkan yang semisal Al-qur’an.

  1. Makna a’jaz dan rukun-rukunnya

A’jaz berarti menghubunkan sifat lemah dan menetapkan orang lain. A’jaz maksudnya menetapkannya kepada orang lain :
ü  Adanya tantangan atau pertandingan
ü  Terdapat keinginan yang membawa sikap bertandingan itu kepada perlombaan atau perkelahian
ü  Meniadakan yang menghalangi perlombaan ini.



  1. Segi-segi kemukjizatan Al-qur’an

     Ulama telah sepakat bahwa Al-qur’an tidaklah melemahkan manusia untuk mendatangkan semisal, Al-qur’an hanya dari satu aspek saja, akan tetapi ia melemahkan mereka dari berbagai aspek yang cukup banyak, baik secara lafzhiyyah maknawiyah maupun ruhyah semua saling menompang sehingga melemahkan manusia untuk melawannya.
Inilah penuturan sebagian aspek kemukjizatan Al-qur’an yang di capai oleh akal :
  • Keharmonisan struktur redaksinya, maknanya, hukum-hukumnya dan teori-teorinya
  • Persesuaian ayat Al-qur’an dengan teori ilmiah yang dikemukakan sains.
  • Pemberitahuan Al-qur’an terhadap berbagai peristiwa yang hanya diketahui oleh Allah.
  • Kefasihan lafadz Al-qur’an kepatahan redaksinya dan kuatnya pengaruhnya.

  1. Macam-macam hukum  Al-qur’an
    
Hukum yang dikandung ada 3 macam:
  • Hukum i’tiqadiah
Adalah yang harus dipercaya oleh orang mukallaf yaitu mempercayai Allah, malaikat, kitab-kitabnya, rosulnya dan hari akhir.
  • Hukum khulqiah
Adalah sesuatu yang harus dijadikan perhiasan bagi orang mukallaf, berupa hal keutamaan dan menghindarkan diri darinya.
  • Hukum Amaliyyah
Adalah yang bersangkut dari apa yang bersumber dari perkataan, perbuatan, perjanjian dan segala macam tindakan.



  1. Dalalah Ayat Al-qur’an : (Qath’iy dan Zanniy)

  • Dalalah qath’iy wurud qath’iy
Mengenai qath’iy dan hubungannya dengan nash, ulama ushul fiqh membaginya menjadi dua macam;
1)      qath’iy wurud yaitu nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
2)      qath’iy ad dalalah yaitu nash yang menunjukan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut. Umumnya nash Al Qur’an yang dikategorikan qath’i dalalah adalah lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat, nama dan jenisnya jelas. Contohnya :

...ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد...
  • Dalalah zanniy wurud zanniy
Mengenai zanniy dan hubungannya dengan nash terbagi dua, yaitu;
1)      zanniy al wurud yaitu nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir.
2)      zanniy ad dalalah yaitu nash yang pengertiannya tidak tegas dan masih mungkin mengandung pengertian lain dari literalnya.

Dalil kedua As Sunnah.
                                  
  1. Definisi As- Sunnah (Hadits)

Sunnah(Hadis) Nabi merupakan sumber hukum primer kedua. Dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti Allah yang digandengkan dengan ketaatan mengikuti rasul-Nya, seperti firman Allah berikut

قًللْ اً طٍعُوْا للهَ وَ الر سول فا ن تو لوا فا ن الله لا يحب الكا فرين 

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S. Ali Imran: 31)

Sunah menurut ushul fiqh ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum .
ü  Sunah Qauliyah
Hadist rosulullah Saw yang beliau katakan dalam berbagai tujuan dan kontek.
ü  Sunah Fi’liyah
Perbuatan-perbuatan rosulullah Saw, sebagaimana tindakannya shalat 5 waktu, dengan cara-caranya, rukun-rukunnya. Melaksanakan manasik haji dan putusan berdasarkan saksi dan sumpah dari pihak pendakwah.
ü  Sunah Takririah
Apa yang ditetapkan oleh rosul, dari apa bersumber dari sebagian sahabat. Berupa perkataan, perbuatan, dan sukutnya (berdiam diri saja) dan tidak mengingkarinya atau dengan menyetujuinya dan menyatakan kebaikan-kebaikannya.

  1. Kehujahan As- Sunah

Kesepakatan kaum muslimin akan kehujahan as-sunah dalam agama sebagai salah satu dalil hukum, sesuai firman Allah :

ومآ أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فنتهوا

“apa yang telah diajarkan Rasul kepadamu hendaklah kamu ambil dan apa yang dilarang bagimu maka kamu hentikan”

Bukti-bukti atas kehujjahan antara lain:
  • Nash Al-qur’an seringkali Allah Swt dalam kitab suci manapun juga menyuruh orang supaya taat kepada rosul. Taat dan patuh kepada rosul ini, berarti taat dan patuh kepada Allah Swt.
  • Ijma sahabat, di waktu nabi masih hidup dan sesudah wafatnya wajib mengikuti sunahnya
  • Di dalam Al-qur’an itu da hal-hal yang di wajibkan kepada orang untuk menjalankannya
Keglobalan ini telah di terangkan oleh rosulullah Saw melalui sunahnya baik qauliyah maupun amaliyah.

  1. Pembagian Sunah

Dengan mengambil i’tibar dari rosulullah maka sunah itu dapat dibagi atas 3 bagian :
  • Sunah Mutawatir
Ialah yang di rawikan dari rosul itu, semua orang sepakat mengatakan. Hadis ini tidak bohong (dusta). Karena orang yang merawikan itu banyak, semuanya itu dapat dipercaya.
  • Sunah Masyhur
Ialah orang yang merawikannya itu hanya seorang atau dua orang atau jama tidak sampai ke batas mutawatir.
  • Sunnah Ahad
Ialah yang merawikanya itu hanya seorang atau dua orang atau jamak tidak sampai kebatas mutawatir.

  1. As-sunah yang qath’i dan dzanni

Bila di tinjau dari pihak datangnya, maka sunah mutawatir itu qath’i dari rosul. Karena nukilannya itu berturut-turut mempergunakan hal-hal yang pasti, dan beritanya itu sahih. Sunah mansyur qathi itu datangnya dari para sahabat, atau sahabat yang menerimanya dari rosul. Sunah uhad dzaniah itu datangnya dari rosul, karena sanadnya tidak mempergunakan qath’i.
Bila di tinjau dari pihak dalil, maka tiap-tiap sunah dari pembagian yang tiga ini, kadang-kadang dalilnya qath’i dan kadang-kdang dzanni. Bila di bandingkan nash Al-qur’an dengan nash sunah dari pihak qath’i dan dzanni, maka dapat di simpulkan bahwa dalil Al-qur’an itu semuanya qath’i. Dan dari nash inilah datangnya qath’i wujud, dan kedunya ini (Al-qur’an dan sunah) kadang-kadang dalilnya itu qath’i dan kadang-kadang dzanni.
Analoginya (Al Qur’an) seperti sebuah teko yang memerlukan (sunnah yang di analogikan dengan) gelas agar mudah meminum air dari padanya.

Peranan Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sbb :
ü  Secara umum fungsinya sebagai penjelas ayat-ayat hukum Al Qur’an.
ü  Menjelaskan isi Al Qur’an diantaranya dengan merinci, mantakhsisi ayat-ayat sifatnya global (umum).
ü  Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas suatu kewajiban yang disebutkan pokoknya dalam Al Qur’an.
ü  Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al Qur’an.
Contoh :

 كل ذي ناب من السباع فأكله حرام

“semua jenis binatang buruan yang mempunayi taring dan burung yang mempunyai cakar maka hukum memkannya adalah haram (HR Nasa’i).
ü  Bayan Hadis sebagai penjelas Al Qur’an.
·         Bayan at tafsir yaitu menerangkan ayat yang sangat umum, mujmal, musytarak. Contoh :

صلّو كما رأيتموني اصلي

“Salatlah kamu sebagaimana kamu melihatku salat” ini merupakan tafsiran dari ayat Al Qur’an yang umum, yaitu aqimush-shalah
·         Bayan taqrir yaitu memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al Qur’an.
Contoh :
 صوم لرئيته وافطر لرئيته

“Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya”.
 ini memperkokoh ayat 185 surat al baqarah.
·         Bayan tauhid yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al Qur’an seperti pernyataan nabi “Allah tidak mewajibkan zakat malainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah di zakati”. Ialah penjelasan terhadap ayat Al Qur’an dalam surat at taubah ayat 34; “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih” pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat berat melaksanakn perintah ini, dan bertanya kepada Rasul, Rasul pun menjawab dengan hadis tadi.

Hadist Nabi yang mutawatir dan sahih maka dalilnya bersifat Qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad masih diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat dzanni (dugaan) wurudnya.
Demikian pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama maka qath’i pula dhalalahnya. Tapi bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai maknanya maka menjadi dzunni dhalalahnya.

  1. Istinbath hukum.

Dalam istinbath (menetapkan hukum/mengeluarkan) hukum maka yang harus diperhatikan adalah:

  1. Kejelasan makna lafazh
Tingkat kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
  • Zhahir, paling rendah tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal).
Contoh zhahir seperti pada ayat :
“Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS An-Nisa’ : 3).

Dari segi “zhahir” lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat orang istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), ta’wil dan nasakh.

  • Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal).
Contoh nash seperti pada ayat :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS An-Nur : 2).

Hukum hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang tidak lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang lain.

  • Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih mujmal (global).
Perhatikan firman Allah :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .” (QS Al-Maidah: 38).

Ayat diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi yang menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah : “tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.”, “Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.” Demikian juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan. Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.

  • Muhkam, paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal) baik itu berupa takhsis, ta’wil maupun nasakh, seperti firman Allah :
“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.” (QS An-nur : 4).

  1. Sedangkan lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas :

  • Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud (maudlul).
Contoh Hadits nabi :
“Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.”

Lafazh “qatil” (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang sengaja. Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak mendapat warisan ? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam mazhab.

  • Al-Musykil yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazhØ itu sendiri. Seperti lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu arti).
Contohnya kata ‘ain, kata ini mengandung beberapa makna bisa berarti : mata, mata air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus diperhatikan dalam konteks apa kata itu dirangkai dengan kata yang lain menjadi kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus dicarikan perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat membantu penafsirannya.

  • Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).

Contohnya tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji.

  • Mutasyabih yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun dan hanya Allah yang tahu maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
a)      Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
b)      Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Contoh: riwayat Abu Ubaid, dari Anas: “Khalifah Umar pernah membaca ayat, “wafakihatan wa abban … Dan buah-buahan dan rumput-rumputan” (QS Abasa: 31), lalu ia berkata : “Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud “al-ab” ?”, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : “Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri”. Riwayat lain dari Muhammad bin Sa’d dari Anas : “Umar berkata kepada dirinya sendiri : ”Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui”.
c)      Ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
d)     Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah “bersemayam” diatas Arsy, Allah “turun” ke langit dunia, Allah “melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb.
e)      Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali “wajahNya”, “tangan” Allah diatas tangan mereka, dsb.
f)       Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
g)      Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).
Yang perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam didalamnya tidak ada yang mutasyabih.
BAB III

KESIMPULAN

1)      Al qur’an adalah wahyu yang di turunkan oleh Allah Swt kepada nabi muhammad Saw, untuk di ajarkan seluruh umat islam agar bahagia dunia dan akhirat.
2)      As Sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yanng berkaitan dengan hukum.
3)      Al-qur’an sebagai sumber hukum utama dan As-sunah sebagai penjelas dari Al-qur’an supaya mudah di pahami dan diterima umat islam seluruh dunia.
4)      As Sunnah dan Al Qur’an adalah seperti seperangkat alat minum (teko dan gelas) karena sunnah merupakan penjelas bagi beberapa ayat dalam Al Qur’an. Untuk memperoleh suatu produk hukum maka harus melalui cara istinbath, dan cara istinbath hukum ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya kejelasan makna dan dalalahnya.
5)      Selain itu, Al-Qur’an dan al-hadis memiliki hubungan,diantaranya;
  • Hadis sebagai sebagai penetap dan penguat hukum yang telah ada di dalam al qur’an.
  • Hadis sebagai penjelas dari isi Al-qur’an.
  • Hadis sebagai dalil independen dalam menetapkan hukum.











DAFTAR PUSTAKA

  • Agil Husin Al Munawar, Said. 2004. Membangun Metodologi Ushul Fiqh. Jakarta: Ciputat PRESS.
  • Djazuli, M.A. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: PRENADA MEDIA.
  • Djalil, basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua. Jakarta: PRENADA MEDIA.
  • Haroen, Nasrun. 1997. Ushul fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
  • Effendi, Satria & M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: PRENADA MEDIA.
  • Khallaf, Abdul Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: RINEKA CIPTA.
  • Dedi Rohayana, Ade. 2005. Ilmu Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN PKL PRESS.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar